Keesokan harinya, Aleia bersiap pergi ke sekolah seperti biasa. Namun, ada sedikit masalah pagi itu. Pak Raden, sopir pribadinya, dengan penuh permintaan maaf memberitahunya bahwa ia harus menjemput Ayah dan Ibu Aleia, sehingga tidak bisa mengantar Aleia ke sekolah. Pak Raden dengan hati-hati menyarankan agar Aleia mencari teman untuk menjemputnya atau menggunakan angkutan umum.
Aleia menghela napas. Dia tak suka merepotkan orang lain, terutama teman-teman sekolah. Apalagi, ini bukan hidupnya yang sebenarnya—ini hidup Aleia Chrystella, si tokoh figuran. Lebih baik naik bus saja, pikirnya.
Dengan langkah pelan, Aleia berjalan menuju halte bus. Udara pagi yang segar terasa menyegarkan, dan sinar matahari yang baru muncul menghiasi langit dengan warna keemasan. Pagi itu seharusnya menjadi momen yang menenangkan sebelum menghadapi hari yang penuh drama di sekolah.
Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Saat Aleia hampir sampai di halte, suara deru motor yang dikenalnya menarik perhatiannya. Ia mendongak, dan tepat di depannya melintas Maverick Maxwell, tokoh antagonis pria yang seharusnya dia hindari.
"Please, Ya Tuhan. Semoga dia nggak sadar ini gue," doa Aleia dalam hati, segera menundukkan kepalanya, berharap tidak menarik perhatian Maverick.
Untuk beberapa saat, Aleia tidak mendengar apa-apa selain suara mesin motor yang menjauh. "Aman," pikirnya lega, mengusap dadanya yang berdebar. Namun, saat dia mengangkat wajahnya lagi, harapan itu hancur. Di depannya, berdiri Maverick dengan tatapan tajam khasnya. Nasib buruk sepertinya tak ingin menjauh darinya hari ini.
“Naik motor gue, cepet. Nanti telat,” ucap Maverick dengan nada datar. Tanpa menunggu jawaban, dia langsung naik kembali ke motornya yang diparkir tak jauh dari halte.
Aleia terkejut dan sedikit bingung. “Thanks, Mave. Tapi... Gue naik bus aja deh. Gue nggak bisa naik motor,” bohong Aleia, mencoba menghindar. Dalam hatinya, ia mengutuk dirinya sendiri.
"Terkutuk lo, Eve. Lo kan dulu kemana-mana naik motor! Cuma karena sekarang gue jadi Aleia yang punya sopir pribadi, gue jadi nggak biasa naik motor lagi," gumamnya pelan, berusaha keras mencari alasan yang masuk akal untuk menolak tawaran Maverick.
Maverick menatapnya dengan alis terangkat, jelas tidak percaya. “Serius? Lo takut naik motor sekarang?”
Aleia memaksa senyum. “Iya, gue... udah lama nggak naik. Nggak nyaman aja.”
Maverick menggeleng pelan, seolah tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Tapi dia tidak memaksa lebih jauh. “Ya udah, terserah lo. Tapi kalau lo telat, jangan salahin gue.” Maverick menyalakan mesin motornya, lalu melaju pergi tanpa menunggu lebih lama.
Aleia menghela napas lega setelah Maverick pergi. Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Apa sebenarnya yang Maverick inginkan darinya? Mengapa dia bersikeras menolong, padahal dalam cerita asli, hubungan mereka tidak seharusnya dekat?
Aleia memutuskan untuk tetap naik bus seperti rencananya. Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi kebingungan. Meskipun dia tahu jalan cerita novel ini, ada banyak hal yang mulai terasa salah. Maverick, yang seharusnya hanya tokoh antagonis yang dingin, tiba-tiba menjadi perhatian pada Aleia. Hubungan mereka, yang semestinya tidak penting, perlahan berubah arah.
Ketika bus berhenti di halte dekat sekolah, Aleia turun dan melangkah masuk ke gerbang sekolah dengan perasaan campur aduk. Dia tahu hari ini mungkin akan penuh dengan kejutan. Entah konflik baru dengan Celeste, Belicia, Lula atau mungkin kehadiran Maverick yang akan terus mengusiknya.
Namun, satu hal yang jelas bagi Aleia: dia tidak bisa lagi menganggap dirinya hanya figuran. Dia telah menjadi bagian dari permainan yang jauh lebih besar, dan ia harus menemukan cara untuk memainkan perannya dengan benar—atau semuanya akan berantakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Silent Invasion
Teen FictionKetika Everalda membuka mata dan menyadari dia berada di dunia fiksi ini, hatinya langsung panik. "Ini... di mana gue?" bisiknya sambil mengedarkan pandangan, bingung dengan lingkungan barunya. Suara riuh dari luar ruangan semakin membuatnya penasar...