Keesokan paginya, suasana di SMA Antasena terasa tegang. Belum lama setelah pelajaran dimulai, Maureen dan Celeste terlibat dalam perdebatan kecil di kelas yang membuat suasana semakin memanas. Aleia, duduk di bangku dekat jendela, hanya bisa mengamati dari jauh.
Maureen, dengan penampilannya yang selalu rapi dan anggun, terlihat sangat tegang. Wajahnya yang cerah tiba-tiba menjadi serius. Celeste, di sisi lain, tampak menantang dengan tatapan tajamnya.
“Gue gak ngerti kenapa lo harus nyerang gue terus, Celeste. Gue udah bilang kalau gue gak mau terlibat sama drama lo,” kata Maureen dengan nada yang tegas, meskipun dia berusaha tetap tenang.
Celeste membalas dengan nada sinis, “Oh, jadi lo pikir lo bisa jadi ratu sekolah tanpa melawan siapa pun? Lo pikir semua orang di sini bakal cuma patuh sama lo?”
Lily dan Emily, yang duduk di bangku belakang Maureen, saling memandang cemas. Mereka merasa bahwa Maureen tidak terlihat baik-baik saja dan berusaha mencegah situasi semakin buruk.
Emily berbisik pada Lily, “Gue gak suka suasana kayak gini. Maureen kelihatan bener-bener kesal. Kenapa Celeste bisa kayak gini?”
Lily mengangguk setuju, “Iya, gue juga ngerasa kalau ini udah lebih dari sekadar masalah biasa. Harusnya ada yang ngelurusin sebelum semuanya makin kacau.”
Maureen, meskipun berusaha tenang, terlihat mulai kesal. “Lo terus-terusan nyoba ngerusak hari gue. Apa yang lo sebenarnya mau, Celeste?”
Celeste tersenyum sinis. “Gue cuma pengen lo sadar kalau gak semua orang di sini suka sama lo. Mungkin selama ini lo hidup di dunia yang terlalu manis.”
Sementara itu, Aleia yang berada di dekat mereka, merasa tidak nyaman dengan ketegangan yang ada. Ia hanya bisa diam dan memandangi situasi, berusaha tidak terlibat. Namun, dalam hati, Aleia merasa khawatir akan dampak dari konflik ini, terutama karena keduanya adalah tokoh penting dalam novel yang ia baca.
Bel berbunyi menandakan akhir dari jam pelajaran, dan suasana di kelas perlahan mereda. Maureen dan Celeste, meskipun tidak saling berbicara lebih lanjut, tetap menunjukkan ketegangan di antara mereka. Aleia menghela napas lega saat suasana mulai tenang, berusaha menghindari konflik lebih jauh dan kembali fokus pada pelajaran berikutnya.
...
Aleia kembali ke rumah setelah hari yang melelahkan. Meskipun suasana kelas sempat tegang dengan konflik antara Maureen dan Celeste, pikirannya tetap terfokus pada tawaran Maverick yang mengejutkan.
Ia duduk di meja belajarnya sambil mengaduk-aduk teh hangat yang baru saja dibuat. Pikiran tentang Maverick yang mengajaknya jalan-jalan terus menghantuinya. Kenapa dia harus meladeni tawaran dari tokoh antagonis seperti Maverick? Seharusnya, dia hanya perlu bersikap dingin dan cuek, menghindari interaksi dengan semua tokoh penting dalam novel.
“Ayolah, Eve! Lo harus ngehindar dari interaksi sama para tokoh di dunia novel ini. Supaya lo bisa cepet-cepet balik ke tubuh asli lo dan gak ngubah alur novel,” pikir Aleia dengan frustrasi.
Aleia merasa sangat bingung dan marah pada dirinya sendiri. Dia tahu bahwa jika dia terus bersikap ramah kepada Maverick, pria itu akan semakin sering berusaha berinteraksi dengannya. Dan itu hanya akan membuatnya lebih sulit untuk tetap berada di luar jalur cerita.
Namun, saat memikirkan tawaran jalan-jalan dari Maverick, ia merasa sulit untuk menolak. Meskipun niatnya adalah untuk menghindari interaksi dengan para tokoh, Maverick menunjukkan sikap yang berbeda dari biasanya—kurang agresif dan lebih penasaran. Ini membuat Aleia merasa terjebak antara keinginannya untuk tetap berada di jalur dan dorongan untuk menjelajahi lebih banyak tentang dunia barunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Silent Invasion
Roman pour AdolescentsKetika Everalda membuka mata dan menyadari dia berada di dunia fiksi ini, hatinya langsung panik. "Ini... di mana gue?" bisiknya sambil mengedarkan pandangan, bingung dengan lingkungan barunya. Suara riuh dari luar ruangan semakin membuatnya penasar...