Confenssions 2

80 13 0
                                    

Sunoo berusaha keras untuk tidak menunjukkan betapa terintimidasi dirinya. Ia terus berjalan, meskipun kakinya terasa seperti karet.

Niki Sanchez terlihat luar biasa tinggi dan mengagumkan. Ia cocok dengan ruangan luas di sekelilingnya serta pemandangan spektakuler Madrid di waktu malam yang terlihat melalui jendela-jendelanya. Apakah bahunya memang selebar itu? Kakinya sejenjang itu?

Sunoo bisa melihat pria itu geram. Amat marah. Jauh berbeda dengan pria menawan dan sopan yang menggoda-nya malam itu.

Kau pun balas menggoda dengan sama bersemangatnya, seru suara tajam di kepalanya.

Sunoo bisa melihat otot menggembung di dagu Niki, seakan pria itu mengertakkannya. Namun terlepas dari kemarahannya yang terlihat jelas, Sunoo masih bisa merasakan perhatian pria itu terhadapnya. Seakan sejuta ujung-ujung saraf meletup hidup. Sekujur tubuhnya berdengung oleh kesadaran. Seolah arus listrik cair menjalari urat nadinya. Ketika bertemu dengan Niki di bar di hotel Dublin itu, setelah pria tersebut mengundangnya untuk menemaninya, Sunoo berkata, "Aku tidak biasa melakukan hal-hal semacam ini... bertemu sembarang pria di bar. Dan aku bukannya datang karena mengharapkan... apa pun..." Wajahnya merona, merasa canggung seperti anak remaja enam belas tahun.

Niki hanya tersenyum seksi dan menarikkan kursi untuknya. "Bagaimana kalau kita minum saja, hmm?" Sekarang kejadian itu terasa sudah sangat lama.

Sunoo menelan ludah. "Maafkan aku... soal kejadian di bawah. Aku tidak akan melakukannya jika bisa menghubungimu melalui jalur-jalur normal. Aku sudah coba menghubungi kantormu, beberapa di antaranya, bahkan- tapi tak seorang pun yang mau meneruskan pesan. Tidak ketika kukatakan ini masalah pribadi."

"Bukan alasan yang cukup bagus." Niki bersedekap.

Wajah Sunoo memerah. "Ketika aku membaca berita mengenai pertunanganmu, kupikir ini akan menjadi kesempatan yang baik agar bisa berada cukup dekat untuk memberitahumu."

Niki menaikkan alis. "Beruntung sekali karena kesempatan ini juga memaksimalkan hasil upayamu dengan memastikan kau diliput tabloid."

Sunoo mengernyit. "Tabloid?"

Bibir Niki menipis. "Jangan pura-pura bodoh setelah pertunjukan itu. Kau tahu persis akan ada media di sana."

Sunoo tersadar ketika mengingat tatapan ngeri serta terkejut di wajah tunangan Niki. "Kupikir... Aku berpendapat satu-satunya cara untuk mendapat perhatianmu adalah dengan melakukan... apa yang sudah kulakukan."

Niki tampak masam. "Well, kau sudah mendapatkan perhatianku. Kau meyakinkanku setelah kebersamaan kita bahwa kau mengerti 'bagaimana hal semacam ini berlangsung". Apakah kau bohong?"

"Tidak." Sunoo tersekat, tapi nuraninya tertusuk. Ia masih ingat betapa tergoda dirinya untuk melanjut-kan fantasinya dan tinggal lebih lama pagi itu. Tapi ingat-an akan ibunya yang bolak-balik menuruti gairah dan jatuh cinta datang menghantuinya, dan Sunoo begitu takut ia akan menyerah pada godaan untuk tinggal lebih lama, sementara semua orang tahu cinta satu malam tidak akan menghasilkan apa pun.

"Aku serius dengan kata-kataku pagi itu. Tentu saja, aku tidak tahu bahwa... bahwa telah terjadi sesuatu." Maksudnya, seorang bayi.

Sekarang Niki terdengar menuduh. "Aku sudah bertanya apakah kau aman dan kau bilang, 'tidak apa. Kau berbohong."

Sunoo menggigit bibirnya. Ia hanya ingat keputusasaan yang ia rasakan saat itu karena menginginkan Niki. Agar pria itu tidak berhenti. Belum pernah ia seputus asa itu sepanjang hidupnya. Namun, ia tidak sepenuhnya hilang akal. Ia menggeleng. "Aku benar-benar berpikir itu bukan masalah. Kupikir saat itu waktu yang aman dalam siklus-ku."

Kim.Sunoo Harem (Gs)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang