TIGA PULUH DUA

44 3 2
                                    

Pukul 20.00 Wib Gio sampai dirumah. Rasanya pulang kerja hari ini berbeda dari sebelumnya. Jika sebelumnya ada Karin yang menunggu kepulangan Gio, hari ini untuk pertama kalinya kepulangan Gio tidak di sambut. Tidak ada Karin yang berdiri di depan pintu menyambut kedatangan Gio dengan senyuman khasnya. Tidak ada Karin yang merentangkan tangan minta dipeluk. Dirumah ini, sudah tidak ada Karin.

"Makan malam dulu, nak." 

"Gio bersih-bersih dulu, mi." Lalu Gio melanjutkan langkah menuju kamar.

Aroma lavender seketika memenuhi indera penciuman Gio yang membawa ingatannya kepada Karin. Istrinya itu sangat suka pengharum ruangan beraroma lavender. 

Aku suka aroma lavender, mas. Bikin tenang. Jadi aku pasang di kamar kita ya biar kamu tidurnya nyenyak. Begitu kira-kira ucapan Karin ketika pertama kali meletakkan infuser diatas meja.

Gio berdiri memandangi frame photo pernikahan mereka yang terpajang di dinding. Disana terlihat dua insan yang tersenyum kearah kamera dengan buku nikah di tangan masing-masing. 

"Apa pernikahan kita benar-benar sudah berakhir, sayang?" Ujar Gio yang matanya tidak lepas memandangi foto Karin. Walaupun senyum Karin di foto pernikahan mereka terpaksa, tapi Gio rindu senyuman itu. Gio rindu senyuman yang mampu menenangkannya.

Bukannya dari awal kamu nggak cinta sama Gio?

Iya Christ. Aku nggak cinta sama mas Gio. Aku terpaksa nikah sama dia. Aku cintanya itu sama kamu.

Seketika obrolan Christ dan Karin berputar begitu saja di telinga Gio. Foto Karin yang dipeluk Christ dari belakang juga terlintas di benaknya. Hal tersebut seketika membuat dada Gio kembali sesak. Mengingat hal itu membuat kekecewaan Gio kepada Karin semakin besar. Rasanya begitu sakit dan hancur. Pengkhianatan pertama Karin kala itu membuatnya begitu sakit, dan sekarang pengkhianatan kedua membuat Gio semakin hancur. 

Apakah yang dilakukan Gio selama ini kurang bagi Karin?

Dimana letak tidak sukanya Karin kepada Gio?

Rasanya Gio telah melakukan yang terbaik sebagai suami. Tapi sepertinya itu tidak cukup bagi Karin. Wanita itu lagi-lagi kembali kepada masa lalunya. 

"Selama ini ternyata aku cinta sendirian ya sayang?" Tanya Gio lagi memandang foto Karin. "Aku nggak punya ruang ya dihati kamu? Kurang aku dimana, sayang? Kenapa kamu lebih milih laki-laki lain dari pada aku dan anak kita? Kamu terlalu jauh mempermainkan perasaan aku, Rin." Tidak terasa, satu tetes air mata jatuh ke pipi.

*

"Gimana kerjaan kamu hari ini, nak?" Tanya umi saat Gio telah bergabung bersama keluarganya di meja makan.

"Alhamdulillah lancar umi."

"Alhamdulillah."

"Hisyam gimana hari ini umi?"

"Hisyam hari ini lumayan rewel. Biasanya juga gitu nak?"

"Enggak umi. Mungkin karena seharian ini nggak sama bundanya, maka Hisyam rewel."

"Umi nggak mau Hisyam dibawa Karin!"

"Astaghfirullah. Umi, kita nggak boleh egois. Kita nggak bisa pisahkan Hisyam dengan Karin. Bagaimana pun Karin itu ibu nya. Kita nggak bisa pungkiri itu. Ikatan ibu dan anak nggak bisa terpisah." Nasehat Abi.

"Abi mau cucu kita tinggal sama perempuan kayak gitu?"

"Karin nggak seperti yang umi pikirkan. Gio dua tahun hidup sama Karin umi dan Gio tau Karin itu seperti apa." Bela Gio.

"Yakin mas? Kalau mas tau mbak Karin seperti apa, kok mas bisa kecolongan?"

"Gia--"

Gia mendelik kepada Gino yang menegurnya.

DREAM MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang