DUA PULUH EMPAT

25 0 0
                                    

Selang dua minggu, tiba-tiba saja malam ini Karin merasakan perutnya begitu sakit. Rasanya mules luar biasa sampai-sampai Karin tidak dapat menggambarkan rasa sakitnya. Kontraksi yang sekarang lebih sakit dari kontraksi palsu sebelumnya.

"Mas-" Suara rintihan Karin membuat Gio yang baru saja selesai sholat langsung menghampirinya.

"Sayang--"

"Sakit mas."

"Kita kerumah sakit ya sayang." Gio mengambil hp lalu menghubungi mang Asep untuk menyiapkan mobil. Setelah itu Gio meraih jilbab Karin dan memasangkan ke istrinya itu.

"Istighfar sayang." Tangan Gio tidak berhenti mengusap kepala Karin. Sesekali di usap nya keringat yang membasahi dahi Karin.

"Mas, sakit." Karin meremas tangan Gio begitu kuat menahan sakit di bagian perut hingga pinggul.

"Sebentar lagi kita sampai sayang. Kamu sabar ya. Jangan lupa istighfar."

Sesampai dirumah sakit, Karin langsung dibawa ke UGD sebelum di pindahkan ke kamar yang sebelumnya telah di urus oleh Adit, yang dulunya asisten Dirga. Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, akhirnya Karin di pindahkan ke presiden suite.

"Mas. Jangan tinggalin aku."

"Mas disini sayang."

"Permisi bapak, ibu. Izin saya periksa dulu ya."

"Silahkan dok."

Dokter yang bername tag Sinta tersebut mulai memeriksa keadaan Karin. Dari denyut nadi, tekanan darah hingga pembukaan.

"Ibu Karin tekanan darahnya cukup tinggi. Ibu jangan takut, jangan banyak pikiran, jangan stres biar tekanan darah ibu normal kembali ya. Kalau tekanan darah ibu tinggi, nanti bahaya buat ibu dan bayi. Untuk pembukaannya baru pembukaan dua ya bapak ibu. Kita tunggu hingga bukaan sepuluh ya."

"Sekarang ibu istirahat dulu. Boleh sesekali jalan di kamar aja dibantu bapak biar bukaannya cepat ya bu."

"Terimakasih dok."

"Baik bapak ibu. Jika nanti ada keluhan boleh panggil saya atau perawat yang jaga. Saya permisi ya bapak ibu."

"Terimakasih dokter."

Saat ini Karin merasakan kontraksinya tidak sesakit yang tadi. Karin mencoba turun dari ranjang dibantu Gio. Tangannya tidak pernah lepas dari genggaman sang suami.

"Mas, kita belum jadi ke makam ayah bunda." Ujar Karin seraya melangkah ke kiri dan ke kanan di bantu Gio. Raut wajah perempuan tersebut terlihat muram.

Gio mengusap pipi Karin. "Maaf ya sayang mas nggak nepatin janji ke kamu. Insyaallah setelah lahiran kita ke makam ayah bunda ya."

Karin hanya mengangguk kecil.

"Umi abi udah otw ke sini." Ujar Gio yang lagi-lagi dibalas Karin dengan anggukan.

Entah sejak kapan, Karin lupa kapan tepatnya, Karin merasakan Umi sedikit berubah. Ibu mertuanya itu sudah sangat jarang menanyakan kabarnya. Bahkan disaat Karin menanyakan kabar Umi, Umi hanya membalas dengan satu kata, tidak seperti biasanya. Karin tidak tau, entah ini hanya perasaannya saja atau umi memang menarik diri dari Karin.

Beberapa kali Karin juga sering melihat Gia mengunggah status yang seperti menyindir dirinya. Gadis yang saat ini duduk di bangku SMP tersebut juga sering mengunggah foto bersama Zhea. Hal-hal tersebut terkadang juga membuat Karin kepikiran. Dia merasa saat ini keluarga Gio tidak menyukainya. Karin tidak tau salahnya dimana.
Tapi Karin memilih untuk tidak menyuarakan perasaannya. Ia tidak ingin menambah beban Gio.

DREAM MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang