TIGA PULUH TUJUH

87 5 1
                                    

Karin terbaring tidak sadarkan diri diatas hospital bad. Di tangannya tertusuk jarum infus serta bantuan oksigen pada bagian mulut dan hidung. Sekitar pukul enam pagi, Bi Sri, Rena dan driver membawa Karin ke rumah sakit karena majikan mereka itu tidak sadarkan diri. Karin pulang kerumah diantar teman-temannya sekitar pukul tiga dini hari. Keadaannya ketika itu mabuk berat dan masih sadarkan diri. Pada pukul enam pagi, Rena membangunkan Karin hendak menyuruhnya membersihkan diri dan sarapan. Lima belas menitan Rena mencoba membangunkan, tapi tidak ada respon. Napas Karin pun tidak teratur dan lambat serta kulit nya pucat. Rena yang khawatir dengan kondisi Karin segera memanggil bi Sri dan membawa wanita itu kerumah sakit.

"Kata dokter Ihsan tadi non Karin keracunan alkohol, pak. Alhamdulillahnya cepat dibawa ke rumah sakit. Tadi dokter juga sudah menyuntikkan vitamin serta cairan gula untuk mencegah komplikasi serius dari keracunan alkoholnya pak." Jelas Rena kepada om Ameer yang baru saja sampai diruang rawat inap Karin.

Om Ameer bernapas lega. Paling tidak keponakannya itu sudah mendapatkan penanganan dari dokter. "Terimakasih sudah membantu Karin, Ren."

"Sudah kewajiban saya pak."

"Bagaimana keadaan Karin selama ini, Ren? Saya sangat khawatir dengan keadaannya."

Rena terdiam sejenak. "Semenjak pulang ke rumah, saya tidak pernah melihat non Karin makan pak. Setiap apa yang saya atau bi Sri antar ke kamar, non Karin sama sekali tidak menyentuhnya. Non Karin setiap hari hanya menangis di kamar."

Ameer sebagai pengganti ayah bagi Karin, tentu terluka mendengar penjelasan Rena. Ada rasa tidak terima dan kecewa atas apa yang dilakukan Gio kepada keponakannya itu. Tapi Ameer tidak bisa menghakimi Gio begitu saja. Dia juga harus mendengar dari sisi Gio.

"Pak, non Karin sadar." Suara bi Sri membuat Ameer dan Rena bergegas menuju ke tempat Karin. Bi Sri dan Rena mengambil posisi setengah meter dari kasur Karin. Mereka memberi ruang kepada Ameer untuk melihat kondisi Karin.

"Sayang." Panggil Ameer mengusap kepala Karin.

Karin memandang Ameer dan Ameer dapat melihat tatapan Karin kosong. Tidak ada binar dimata indah tersebut. 

"Karin, om disini sayang."

"Sini om bantu nak." Ameer segera membantu Karin merubah posisinya menjadi duduk. "Karin udah nyaman?"

Karin mengangguk. Matanya tidak lepas menatap Ameer. Sedetik kemudian, air mata berlinang di pelupuk matanya. Tanpa aba-aba Karin memeluk om Ameer. 

"Tumpahin semuanya, nak." Ujar om Ameer mengusap punggung Karin.

Dan pecahlah tangis Karin. Semua rasa sakit, sedih, kecewa dan kehilangan yang selama ini Karin pendam, ia tumpahkan dalam pelukan om Ameer. Karin butuh pelukan. Selama ini ia hanya memeluk lukanya sendiri. Karin tidak sekuat itu. Ia hanya seorang wanita dan seorang anak yang juga butuh dipeluk saat hancur.

Mata Ameer juga berlinang. Betapa perih hatinya melihat kondisi putri semata wayang saudara laki-lakinya itu. Putri yang di besar dan di jaga dengan penuh cinta, dilengkapi semua kebutuhannya, serta di lindungi dengan segenap jiwa, kini harus hancur seperti ini. Anak perempuan yang selalu ceria itu sudah hilang dari dirinya. Sekarang hanya tersisa kesedihan.

"Karin makan ya." Bujuk om Ameer setelah Karin melepaskan pelukannya.

Tatapan mata Karin kembali kosong. Ia menggeleng.

"Om suapin mau?"

Karin menggeleng lagi.

"Karin mau makan apa? Perut Karin harus di isi biar Karin nggak sakit." Ameer berbicara begitu lembut, seperti berbicara dengan anak kecil.

DREAM MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang