22. Life Must Go On

1.4K 151 9
                                    

SELAMAT MEMBACA ❤️

---------------------

"Kan kukenalkan
Penampilan hujan di tempat lain
Pemandangan bagus di tempat yang jauh
Bukan yang di dekat rumah saja

Kita kan tangkap
Banyak kejadian yang menarik
Koleksi suasana asyik
Perasaan-perasaan yang baik."

(Sal Priadi - Mesra-mesraannya kecil-kecilan dulu)

●○•♡•○●

Seperti yang sudah di diskusikan sebelumnya, Mas Abi sudah mulai membuat gorengan untuk di jual. Mas Abi dibantu oleh Mas Raga dan Dika untuk membuat gorengan itu saat malam hari. Kara sudah bersedia menitipkan makanan itu ke kantin sekolahnya.

Sungguh, itu tidak mudah. Kara harus pintar-pintar bernegosiasi dengan ibu kantin. Untunglah, ibu kantin tersebut bersedia menerima gorengan yang akan Kara jual.

"Maafin Mas, ya. Semuanya jadi susah begini," kata Mas Abi di sela-sela kesibukannya yang tengah memotong wortel.

"Mas minta maaf mulu. Orang kita semua juga nggak masalah," ujar Dika.

Mas Abi menunduk. "Mas nggak bisa bayangin kalau adik-adik Mas itu bukan kalian. Apa mereka masih bisa sesabar ini?" Mas Abi menatap Dika dan Mas Raga secara bergantian.

"Berarti, Mas bersyukur dong punya adik kayak kita?" tanya Dika.

Mas Abi mengangguk. "Sekali pun, Mas nggak pernah nggak bersyukur karena kehadiran kalian," balas Mas Abi.

"Ada apa sih berisik banget di depan? Dik, titip dulu ya biar nggak gosong. Aku liat dulu ke depan, Mas," kata Mas Raga seraya pergi meninggalkan Dika dan Mas Abi.

●○•♡•○●

"Ini tuh harusnya pasang di atas, Ta! Tuh, gini harusnya!" celoteh Kara ketika tengah menyusun lego bersama Sapta.

"Bukan gitu, Abaaaang!" Sapta lantas mengambil potongan lego itu dari tangan Kara, kemudian menyusunnya sesuai dengan apa yang ada dalam imajinasinya.

Kara melongo ketika melihat hasil dari karya Sapta. "Ta? Yang bener aja! Ini masa iya kejungkir gini?" Kara sudah tidak mampu lagi berkata-kata dengan imajinasi adik satu-satunya itu.

Jantera yang sedari tadi hanya diam, sebenarnya tidak benar-benar diam. Tanpa sadar, ia ikut berpikir atas bentuk lego apa yang tengah kedua adiknya debatkan itu.

"Ta, emang ini bentuknya apaan, sih?" tanya Jantera pada akhirnya.

Sapta mengedikkan bahunya. "Nggak tahu."

"Lah? Lu gimana sih, Dek?" Kali ini, kesabaran Kara sepertinya sudah mulai terkikis oleh Sapta.

"Emang nggak ada contoh cara nyusunnya, ya?" tanya Jantera masih dengan nada lembut. "Biasanya suka ada itu, Dek. Jadi, kita tinggal ngikutin aja," imbuhnya.

"Ada, kok," balas Sapta santai.

"LAH?? TERUS KENAPA LU NGGAK BILANG DARI TADI, KOCAAAAAK?!" Kara benar-benar frustrasi dengan adiknya itu.

Sapta hanya melirik ke arah Kara sekilas, kemudian tersenyum tengil. "Nggak mood, he-he."

Kali ini, tak hanya Kara. Jantera pun tak percaya atas situasi yang tengah dihadapinya kini. Ia lantas bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Apakah kepribadian Sapta yang sebenarnya memang se-tengil Dika dan Sena?

"Ada apa, sih? Kedengeran loh kalian ribut-ribut!" Mas Raga yang langsung bertanya ketika melihat ketiga adiknya yang tengah bermain lego.

"Apa? Orang nggak ada apa-apa, kok. Mas Jan sama Abang aja tuh yang berisik, Mas. Aku sih nggak," kata Sapta santai.

Kara dan Jantera saling berpandangan. Batin mereka seolah terhubung satu sama lain, dan berkata, "Emang sialan ini bocah satu."

"Nggak ada apa-apa, Mas. Ini aku lagi bantuin mereka aja nyusun lego. Yaaa ... namanya bocah-bocah. Ada aja hal yang mereka ributin," tutur Jantera yang membuat Kara melongo. "Kok aku sih, Mas?" protesnya sebal.

Mas Raga hanya bisa menghela napas berat. "Bang, Mas minta tolong beliin tepung terigu ke warung, dong. Itu adonannya kurang," kata Mas Raga pada Kara.

"Aku aja, Mas!" Sapta segera bangkit, lalu mendekat ke arah Mas Raga.

"Pasti minta duit jajan, tuh!" kata Kara.

"Apaan? Abang tuh ya hidupnya selalu di penuhi dengan prasangka-prasangka buruk!" kata Sapta seraya melirik tajam ke arah Kara. "Tapi, kalo Mas mau ngasih, aku bakal terima dengan senang hati, kok," imbuhnya seraya senyum ke arah Mas Raga. Tentu saja Mas Raga tidak bisa berkutik. Sapta ... benar-benar menggemaskan.

●○•♡•○●

"Kenapa itu anak-anak, Ga?" tanya Mas Abi ketika Mas Raga kembali ke dapur.

"Biasa, lah. Bocah-bocah nggak jelas. Sekalinya main bareng, ribut. Mana Jantera juga ikutan," tutur Mas Raga yang membuat Dika terkikik.

"Gimana, Mas? Nyesel nggak udah nyebut adik-adik terbaik?" ledek Dika pada Mas Abi.

Mas Abi menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Dikit. Emang agak laen ternyata lo semua," katanya yang membuat tawa Dika pecah.

"Eh, tapi Sena kemana, Dik? Kok nggak barengan kalian pulang?" tanya Mas Raga pada Dika. Benar, Mas Raga dan Mas Abi baru menyadari jika Sena sedari tadi belum terlihat.

"Sena masih di kampus, Mas. Kayaknya pulang agak maleman. Mas kalau mau pada tidur nanti, tidur aja. Biar Dika yang nungguin Sena," kata Dika.

"Gue temenin, Dik," kata Jantera yang datang ke dapur dengan membawa tepung yang dibeli oleh Sapta.

"Oke, deh. Ngopi kan, Mas?" tanya Dika seraya menaikkan alisnya.

Jantera mendecak. "Ck. Iyaaaa!" balas Jantera.

"Jangan kebanyakan! Lambung kamu perhatiin!" peringat Mas Abi pada Dika dan Jantera.

Dika mengangguk. "Tenang aja, Mas. Aku anaknya nurut sama disiplin," katanya yang mendapat tinjuan dari Jantera di lengannya.

"Mulut lo udah kebanyakan bohongnya!" hardik Jantera.

Mas Abi pun hanya bisa tertawa. Sedangkan, Mas Raga hanya bisa menggelengkan kepalanya. Sudah biasa sekali Dika dan Jantera seperti ini. Belum lagi jika ada Sena. Mereka bertiga sudah seperti paket lengkap.

●○•♡•○●

Dalam perjalanan, terkadang kita bertemu dengan jalan buntu yang membuat kita merasa tersesat. Bahkan, sering kali kita menganggap itu adalah sebuah kegagalan ketika kita tak kunjung sampai pada tujuan.

Namun, kita selalu lupa jika kita masih bisa putar arah, dan kembali mencari jalan lain.

Beristirahatlah sejenak, dan berhentilah berpikir untuk mengambil 'jalan pintas'.

Hidup masih harus terus berjalan.

-
-
- bersambung ...

see you next part!

Love, Grace ❤️

IN THE END ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang