0006 - Bisikan Ibu dan Jeritan Jiwa

26 7 0
                                    

Di halaman, enam depa dari kedua tubuh ayah dan ibunya, si Bungsu masih tetap tertunduk. Dia tak berani bergerak sedikit pun.

Meski di halaman itu ha­nya ada seorang serdadu, dan serdadu itu tegak sebelas depa darinya, membelakanginya pula. Menghadap ke belakang rumah. Namun si Bungsu tak pernah punya keberanian sedikit pun untuk tegak mendekati tubuh ayah dan ibunya.

Dia juga tak punya keberanian untuk menolong kehormatan kakaknya yang dirajah Saburo Matsuyama di atas rumah mereka. Tidak, dia memang tak punya keberanian sedikit pun selama ini.

Keberaniannya hanya satu. Yaitu main judi. Tapi kini apa guna kepandaiannya yang satu itu? Sebagai anak lelaki dia anak lelaki yang "tak lengkap", betapa pun dia pernah amat membanggakan "ilmu" judinya.

Di kamar di atas rumah gadang itu, kakak si Bungsu tiba-tiba tersadar. Dia merasa lehernya pedih dan panas. Merasa ada nafas mendengus di wajahnya. Merasa tubuhnya disimbahi peluh. Merasa ada beban berat menghimpitnya. Dan tiba-tiba dia memekik dan melambung tegak.

Tapi pekiknya terhenti tatkala Saburo menyabetkan samurainya. Gadis itu terkulai ke jendela. Dia menutup dadanya dengan tangan. Matanya menatap sayu ke halaman. Menatap pada mayat ayah dan ibunya.

Tatapan ma­tanya terhenti pada wajah si Bungsu yang masih duduk berlutut dan memandang pada­nya. Bibir gadis itu bergerak. Seperti bicara pada adiknya. Namun tak ada suara yang keluar. Matanya segera layu. Kepalanya terkulai ke bendul jendela.

Si Bungsu masih terpaku di tempatnya dengan penuh ketakutan. Tertunduk dengan diam. Kapten Saburo Matsuyama turun dari rumah sambil melekatkan ikat pinggang.

Di halaman dia terhenti tatkala terpandang pada si Bungsu. Dia segera ingat pada sumpah Datuk Berbangsa. Ingat pada sumpahnya yang akan menuntut balas. Siapa yang akan menuntutkan balasnya selain dari anaknya ini?

Dengan kesimpulan begitu dia lalu mendekati si Bungsu. Takut si Bungsu muncul.

"Aaaa.. ampuun tuan. Ampuun...!" dia bermohon-mohon dengan tubuh menggigil.

Beberapa penduduk yang melihatnya dari kejauhan menjadi jijik dan mual melihat sikap anak muda ini. Mereka ingin menginjak-injak anak muda pengecut itu. Benar-benar jahanam! Benar-benar laknat. Anak haram jadah! Mereka memaki.

Saburo memegang hulu samurainya. Si Bungsu terkejut. Dia tahu Jepang itu berniat membunuhnya. Dia segera bangkit. Sambil memekik minta ampun dia menghambur mengambil langkah seribu.

Namun anak muda pengecut ini memang sial. Pedang samurai Saburo bergerak amat cepat. Punggungnya belah. Dia tersentak. Rubuh tertelungkup de­ngan punggung menganga mulai dari belikat kiri sampai ke batas pinggul.

Sementara itu, kampung tersebut telah jadi lautan api. Pekik dan lolong terdengar bersahutan. Perempuan-perempuan berpekikkan diseret ke bawah pohon. Diperkosa dan beberapa lelaki yang coba melawan dibantai dengan samurai atau ditusuk dengan bayonet.

Menjelang sore, kampung itu hampir rata de­ngan tanah. Asap mengepul di mana-mana. Burung elang dan gagak terbang rendah seperti melihat bangkai yang bergeletakan. Itu adalah penyembelihan yang tak terlupakan bagi penduduk di kampung itu.

Tak kurang dari sepuluh nyawa melayang. Di pihak Jepang hanya tiga serdadu yang dimakan samurai di tangan Datuk Berbangsa. Beberapa rumah memang masih tegak dengan utuh, yaitu rumah-rumah yang tak berpenghuni.

Serdadu Jepang sudah kembali ke Payakumbuh, dimana mereka bermarkas. Makin hari makin banyak jumlah mereka yang datang ke Minangkabau lewat Sumatera Utara. Kekuatan mereka dipencar ke beberapa kota utama di Minangkabau.

Sore itu hujan turun rintik-rintik. Membasahi kampung yang telah centang perenang itu. Hujan rintik-rintik itu juga seperti mencuci tubuh mayat-mayat yang bergelimpangan.

TIKAM SAMURAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang