0010 - Perjalanan Si Bungsu di Tengah Kebencian

26 4 0
                                    

Kampung itu berangsur ramai. Kehidupan sudah berlangsung seperti biasa. Hari itu hari Jumat. Panasnya bukan main. Lelaki boleh dikatakan semuanya berkumpul di mesjid. Mereka sebahagian besar hampir tertidur tatkala khatib membaca khotbah.

Khotbah yang dibacakan itu berasal dari penguasa Jepang. Tidak lagi bebas berkhotbah seperti biasa. Mula-mula cara berkhotbah begitu terasa menyakitkan hati umat Islam.

Tidak hanya di kampung itu, tapi juga di seluruh Minangkabau. Namun hal itu lama-lama menjadi biasa. Kehendak penguasa memang harus ditaati. Masih untung yang mereka wajibkan hanya membaca khotbah yang ditentukan.

Khotbah itu rasanya tak ada yang melanggar ajaran agama. Tetap berisi ayat-ayat Al Qur'an dan hadis seperti biasa. Hanya, selain menyeru berbuat baik dan menjauhi yang mungkar, kini ditambah dengan menyeru untuk mematuhi perintah yang datang dari saudara tua, si Jepang.

Mematuhi perintah Jepang berarti membantu mengamankan kampung halaman. Berarti membangun negeri. Nah, apa beratnya membaca khotbah seperti itu bukan?

Jemaah sebenarnya ingin cepat khotbah itu berakhir. Namun tak seorang pun yang berani meninggalkan mesjid. Sebab mereka tahu, kalau mereka pergi berarti tak suka pada khotbah.

Dan tak suka pada khotbah di mesjid berarti tak menyukai seruan Jepang si saudara tua. Nah, ini bisa mengundang kesusahan. Daripada susah-susah lebih baik di Mesjid. Meskipun ngantuk.

Akhirnya sembahyang Jumat yang dua rakaat itupun selesai. Orang-orang bersalaman untuk pulang. Seorang lelaki separoh baya yang duduk di saf paling belakang disalami oleh orang yang duduk di sebelahnya. Dia menerima salam itu dengan senyum.

Namun tatkala dia melihat pada orang yang menyalaminya itu, senyumnya lenyap tiba-tiba. Tangannya yang te­ngah bersalaman itu dia tarik cepat-cepat. Dia seperti orang yang terpandang pada setan di siang hari.

Lalu tiba-tiba dia bangkit. Kemudian bergegas ke pintu. Dua orang lelaki yang akan keluar tertabrak olehnya.

"Hei, bergegas kelihatannya. Akan kemana Datuk?" orang yang ditabrak di pintu mesjid itu bertanya.

Lelaki separoh baya yang dipanggil dengan se­butan datuk itu mula-mula akan terus keluar. Namun dia berbalik dan berbisik pada kedua lelaki yang ditabrak itu. Kedua lelaki itu tak percaya.

Mereka surut kembali ke tengah mesjid. Menatap orang yang bersalaman dengan Datuk itu. Yang kini masih duduk menunduk. Kedua orang ini juga tersurut. Kemudian cepat-cepat berlalu.

Sudah tentu sikap ini menarik perhatian yang lain. Beberapa orang, meniru perbuatannya pula. Berbalik ke tengah mesjid dan melihat pada orang yang masih duduk menunduk itu. Kemudian juga mereka seperti melihat setan. Lalu keluar cepat-cepat.

Dalam waktu yang singkat, hampir semua lelaki di kampung itu yang datang sembahyang Jumat ke mesjid, mengetahui bahwa si Bungsu laknat anak Datuk Berbangsa itu ternyata masih hidup.

Kini dia kembali ke kampung ini. Ada perasaan tak sedap dan tak aman di hati hampir seluruh lelaki kampung atas kehadiran si Bungsu.

Anak muda itu masih duduk di tengah mesjid. Duduk dengan kepala menunduk. Dia tahu orang memperhatikannya tadi. Dia tahu orang berbisik membencinya. Itulah kini yang dia renungkan.

Dia me­nyangka dengan masuk ke rumah Allah ini perasaannya akan tentram. Dia menyangka bahwa di rumah Allah ini semua insan sama.

Bukankah setiap kaum muslim itu bersaudara? Bukankah mesjid ini adalah lambang dari persaudaraan orang Islam? Mengapa kebencian di luar sana harus dibawa ke rumah Allah yang suci ini?

Atau di rumah Allah ini pun manusia sebenarnya tak bisa melepaskan dirinya dari sikap manusia yang hewani. Yang saling membenci, saling atas mengatasi, saling himpit menghimpit? Atau barangkali dia tak dianggap sebagai seorang muslim?

TIKAM SAMURAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang