0004 - Harapan dan Ketakutan di Tengah Serangan Jepang

31 6 0
                                    

Suatu malam terjadi kegemparan di kampung itu. Kelima serdadu Jepang yang ditempatkan di surau mengaji, yang dijadikan pos darurat, subuh-subuh kedapatan mati semua. Pada tubuh mereka ada bekas tikaman. Jelas tikaman keris.

Lewat subuh sedikit, hampir seratus serdadu Jepang mengepung kampung itu. Ternyata Datuk Maruhun dan kedua temannya lolos dari tahanan. Kabarnya bersama Datuk Berbangsa dan beberapa pejuang lainnya mereka membunuh pula empat orang serdadu Jepang di penjara.

Lalu malam itu juga menyelusup ke kampung. Mereka membawa anak dan isteri melarikan diri. Ketika kampung itu dikepung Jepang, yang tinggal di sana hanya beberapa keluarga saja. Umumnya perempuan yang suaminya telah tertangkap atau dikirim ke Logas, atau bersembunyi.

Empat lelaki yang tertangkap segera dibariskan di depan surau di mana kelima serdadu Jepang itu mati malam tadi. Keempat lelaki itu sebenarnya orang-orang biasa yang tak ada sangkut pautnya dengan kejadian di kampung itu. Mereka ha­nya petani biasa.

Malahan satu di antaranya adalah seorang bisu dan tuli. Namun Jepang itu tak peduli. Seorang Kapten yang memimpin pengepungan itu, bernama Saburo Matsuyama, tampil ke depan.

Wajahnya kelihatan angkuh sekali. Bibirnya tertarik ke bawah dengan garis-garis wajah yang keras dan kuat. Semua penduduk dikumpulkan. Tua muda lelaki dan perempuan. Saburo lalu berpidato dalam bahasa Indonesia yang lebih banyak tak dimengerti orang kampung itu.

"Ini sebuah contoh dan peringatan bagi orang-orang yang coba melawan balatentara Kaisar dari Negeri Matahari Terbit. Jika setelah ini ada seorang serdadu Jepang mati oleh penduduk pribumi, maka akan dibalas dengan membunuh tiga orang penduduk pribumi.

Jika tak ada lelaki, maka perempuan yang akan dibunuh. Jika tak ada, anak-anak kami jadikan gantinya. Ingat itu baik-baik. Kalau di antara kalian ada yang mata-mata, sampaikan ucapan saya ini pada orang orang yang menyusun kekuatan untuk melawan kami, yang kini bersembunyi entah dimana..."

Keempat lelaki itu disuruh berjongkok. Perempuan dan anak-anak mulai bertangisan. Dengan suatu komando, empat orang serdadu Jepang segera berdiri di belakang keempat lelaki itu. Di tangan keempat serdadu itu tergenggam sebuah samurai.

Sebuah perintah dalam bahasa Jepang terdengar bergema. Dalam sekejap, keempat kepala lelaki itu terpisah dari tubuhnya. Beberapa perempuan jatuh terjerembab ke tanah menyaksikan kebuasan ini. Beberapa anak-anak memekik-mekik.

Tiba-tiba seorang serdadu datang berlari dan berbisik ke telinga Kapten Saburo. Kapten itu tertegak dan melihat ke utara. Dia lalu memerintahkan penduduk bubar dan memberi aba-aba pada pasukannya. Sekitar tiga puluh serdadu segera berhamburan ke utara.

Dalam sekejap mereka telah mengepung sebuah rumah. Rumah itu adalah sebuah rumah adat yang besar, rumah si Bungsu! Saburo segera tampil ke halaman rumah yang telah dikepung ketat itu. Dia meng­hadap ke atas anjungan.

"Kalian telah terkepung. Keluarlah!. Kalau kalian tak keluar dalam lima menit, saya akan membakar rumah ini...!!" seru komandan tentara Jepang itu.

Beberapa penduduk memberanikan diri melihat kejadian itu dari kejauhan. Mereka tidak mengerti siapa yang disuruh keluar oleh Jepang itu. Sebab seta­hu mereka Datuk Berbangsa sudah lari subuh tadi bersama anak isterinya.

Sementara itu, si Bungsu yang tadi tegak di antara penduduk, kini menyeruak ke depan di antara barisan penduduk yang melihat dari kejauhan.

Wajahnya yang biasa murung kini jadi pucat. Dia menatap ke rumahnya dengan tegang. Dan benar, tak lama kemudian kelihatan ayahnya, Datuk Berbangsa, muncul di pintu! Menyusul ibu dan kakaknya. Melihat ayah, ibu dan kakaknya itu, si Bungsu berlari ke depan.

TIKAM SAMURAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang