0019 - Purnama Berdarah

25 6 2
                                    

"Nah, buyung. Katakanlah untuk apa lu mencari Tai – i Saburo!" Cina itu kembali berkata.

Si Bungsu menghapus darah di keningnya. Menghapus darah dari daun telinganya yang koyak. Pedih dan sakit dari kedua lukanya itu menyentak – nyentak.

"Bagaimana saya akan bicara kalau leher dan dada saya ditekan begini...?"

Dia coba mencari kesempatan. Dia berharap de­ngan ucapannya itu Bayonet yang ditekankan ke leher dan dadanya itu akan ditarik.

Kalau saja dia punya kesempatan agak sedikit, dia bisa berguling de­ngan loncat tupai itu ke belakang. Menyambar samurainya. Demi Tuhan, akan dia cincang semua lelaki yang ada dalam ruangan ini. Terutama Cina gemuk seperti babi ini.

Namun Babah itu memang orang sadis. Di tangan­nya tiba – tiba telah berada pula sebuah bijih dadu. Dia meletakkan dadu itu kembali di antara ibu jari dan telunjuknya. Dadu itu siap lagi untuk dia sentilkan pada si Bungsu.

"Dadu ini bisa menembus jantungmu. Engkau mati. Atau bisa menembus matamu. Engkau buta. Maka sebelum salah satu di antara kemungkinan itu terjadi, bicaralah yang benar. Tak peduli ada bayonet atau tidak di lehermu...!"

Benar – benar sadis. Si Bungsu mau tidak mau memang harus buka mulut.

"Saya ingin menuntut balas kematian keluarga saya," ujarnya perlahan.

"Dengan apa akan kau tuntut? Dengan menembaknya? Atau dengan menyerang rumahnya bersama gerombolan Indonesia. Hmm? Katakan bagaimana ca­ranya...!!"

"Dengan cara saya sendiri..."

"Bagaimana caramu...!"

Si Bungsu terdiam. Babah gemuk itu bangkit. Kemudian berjalan mendekatinya.

"Katakan bagaimana caramu..." desis babah itu.

Perwira – perwira Jepang yang lain menatap saja dengan diam. Si Bungsu jadi sadar, Cina ini nampa­knya adalah salah seorang perwira intelijen Jepang karena kelihatan sekali dia disegani perwira – perwira itu. Hanya saja jabatannya itu dia rangkap sebagai pe­judi dan pengusaha rumah pelacuran.

Demikian tak bermoralnya dia, sehingga demi pangkat dan karir­nya di mata Jepang, dia rela mengorbankan anak gadisnya untuk memuaskan nafsu perwira – perwira Jepang tersebut.

Karena si Bungsu masih tetap diam, babah itu menjitak kepalanya. Terdengar suara berdetak ketika lipatan jari babah itu menghantam kening­nya. Ke­ningnya segera bengkak sebesar telur.

"Katakanlah dengan siapa kau akan pergi menye­rang Tai–i Saburo, dan dimana kalian akan berkumpul, monyet...!"

Benar – benar sakit hati si Bungsu menerima perlakuan babah gemuk ini. Pertama cara dia menekekkepalanya itu. Benar – benar menyinggung hatinya.

Kemudian ucapannya menyebut monyet itu benar – benar terasa tidak bermoral. Saking sakit hatinya, anak muda itu lupa mengontrol diri. Tanpa dapat dia ta­han, dia meludahi muka babah gemuk itu.

Ludahnya menghantam wajah si babah. Anak muda ini benar – benar lupa diri saking marahnya. Dia tak sadar sama sekali, bahwa dengan perbuatannya ini dia bisa saja dibunuh oleh si babah. Kalau itu terjadi, maka dendamnya pada Saburo takkan pernah terbalaskan.

Si babah yang mukanya seperti udang direbus itu benar – benar tak memberi ampun. Kakinya melayang. Si Bungsu yang memang tak pernah belajar silat itu kena hantam dadanya. Tubuhnya tercampak. Masih belum mencecah lantai, dia sudah muntah darah. Kemudian tubuhnya jatuh.

Masih belum dia sadari apa yang terjadi, ketika sebuah tendangan kembali mendarat di rusuknya. Sakitnya bukan main. Dia dengar tawa si babah. Yang menendangnya barusan ini ter­nyata si Baribeh.

TIKAM SAMURAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang