0008 - Makhluk Mistik di Ujung Senja

30 6 0
                                    

Senja ini dia kembali duduk di atas batu pi­pih itu. Menatap ke lembah sana. Ke kaki gunung di mana sawah menghampar. Di mana kerlip lampu dari kampung-kampung mulai kelihatan. Dia duduk menatap ke arah kampungnya.

Rindu kembali bertalu-talu gemuruh di dadanya untuk datang ke sana. Sudah belasan purnama dia berada di pinggang Gunung Sago ini. Menjadi orang hutan. Tidur di pondok beratap lalang yang dia bikin secara darurat.

Yang bisa menahannya untuk tetap hidup adalah keinginannya yang keras untuk membalas dendam. Kini dia merasa ingin segera kembali ke sana. Dia menarik nafas panjang. Namun telinga­nya yang sudah sangat terlatih di rimba raya itu juga menangkap dengus nafas lain.

Dia tertegun. Apakah dengus sebentar ini adalah dengus nafasnya sendiri yang terdengar sampai dua kali? Dia tak berani menoleh. Namun, pelan-pelan nalurinya mengatakan bahwa ada bahaya mengancam dirinya dari belakang. Tapi bahaya apakah itu. Kenapa dia tak mengetahuinya?

Sudah belasan purnama dia duduk disini. Setiap ada yang bergerak mendekati tempatnya ini, bahkan kupu-kupu yang terbang ringanpun segera akan dia ketahui. Semua itu berkat latihan konsentrasinya selama ini. Pelan-pelan tubuhnya juga bersiap untuk menerima setiap kemungkinan yang tak diingini.

Aneh, tak ada suara apa-apa. Padahal biasanya senja begini, setiap dia habis sembahyang Maghrib dia selalu dihibur oleh dendang jang­krik dan suara nyanyian binatang malam lainnya. Termasuk suara siamang yang bersahutan.

Tapi kini kenapa suara-suara itu lenyap? Sejak bila lenyapnya? Kesunyian ini adalah kesunyian yang belum pernah dia alami selama ini.

Tiba-tiba kembali de­ngusan nafas itu dia dengar. Dia yakin dengus­an halus dan amat perlahan itu bukanlah dengusan dari mulutnya. Tidak. Dengusan itu jelas dari belakangnya.

Menurut perkiraannya, jarak antara diri­nya yang duduk membelakang dengan mahluk yang mendengus itu paling-paling hanya tiga depa! Tiga depa! Ya Tuhan, bulu tengkuknya merinding habis-habisan.

Kalau benar dugaannya, bahwa yang mendengus itu berada sekitar tiga depa di belakangnya, itu berarti dia juga telah berada di atas batu layah di mana dia duduk kini. Batu layah itu lebarnya sekitar empat depa persegi.

Dia duduk di bahagian ujung paling depan. Yang membuat dia kaget adalah kehadiran makhluk yang belum dia kenal itu di atas batu layah itu. Kenapa sampai tak terdengar olehnya ketika makhluk itu naik tadi?

Krosakkk...!!

Tiba-tiba dia mendengar suara terpijaknya daun kering di sekitar batu dimana dia duduk. Meski amat perlahan, hampir-hampir tak terdengar oleh te­linga orang biasa, namun dengan latihannya yang sudah hampir sempurna belasan purnama ini, si Bungsu dapat mendengar bahwa ada sekitar selusin kaki di bawah batu ini.

Dan ketika dia lebih memusatkan pendengarannya ke atas, dia tambah kaget. Ada dua makhluk berada di belakangnya. Satu di kiri, satu di kanan! Manusiakah?

Tangannya melemas. Lemas selemas-lemasnya.

"Siapakah yang ada di belakang...?" Dia bertanya tanpa menoleh. Tatapannya lurus ke depan dengan konsentrasi penuh.

Tak ada jawaban. Dia segera tahu, siapa pun yang ada di belakangnya, pastilah tak berniat baik. Tangannya makin melemas dan terasa panas. Bulu tengkuknya makin merinding. Tiba-tiba dia merasakan angin menyambar!

Dia tak segera mencabut samurainya. Namun dia bergulung ke kanan. Gerakan itu dia pelajari dari tingkah dua ekor tupai yang berkelahi di cabang pohon. Dia amati perkelahian itu dengan seksama. Kemudian dia berlatih menyelingi latihan samurainya. Kini jurus berguling itu dia lakukan.

Dia selamat dari terpaan makhluk itu. Kemudian dia duduk berlutut. Namun sebelum dia lihat siapa yang menyerang, kembali makhluk itu bergerak secepat kilat menyerangnya. Dia kembali mempergunakan gerak tupai itu. Bergulung dua kali ke ka­nan dan melambung tegak.

TIKAM SAMURAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang