Betapa mereka takkan takjub, sebagai perwira mereka termasuk mahir mempergunakan samurai. Tapi melihat cara anak muda ini mempergunakan samurai, mereka benar – benar terpukau.
Caranya nampak sangat sembarangan. Tidak menurut aturan sebagaimana pesilat – pesilat samurai seperti yang mereka pelajari selama ini dalam ketentaraan Jepang. Namun, meski dengan metode yang tak benar, anak muda ini bergerak sangat cepat. Ayunan dan tebasan samurainya amat kukuh, mantap dan secepat kilat.
Mereka yakin, kalaupun mereka disuruh bertanding melawan anak muda ini, maka bagi mereka takkan ada harapan untuk menang sedikit pun!
Kini, ketika si Bungsu mencencang tubuh babah, kedua perwira ini tanpa dapat mereka tahan, terpancar kencingnya. Mereka bukannya ngeri melihat tubuh si babah yang cabik – cabik itu, tapi mereka membayangkan bahwa setelah ini tubuh merekalah yang akan menerima nasib seperti itu.
Si Bungsu melangkah mendekati mereka. Salah seorang mencabut pistol dengan tangan menggigil. Dan saat itulah samurai si Bungsu bekerja. Keduanya rubuh tanpa dapat melawan sedikitpun. Ini benar – benar sebuah pembantaian!
Rumah itu berkuah darah. Potongan tubuh kelihatan tergeletak di sana sini. Si Bungsu memang tak bisa berbuat lain daripada seperti itu. Dia dihadapkan pada dua pilihan. Dibunuh atau membunuh. Maka dia memilih pilihan yang kedua.
Betapapun jahatnya suatu pembunuhan, namun jauh lebih baik hidup sebagai pembunuh dari pada mati sebagai orang yang dibunuh. Apa lagi kalau hanya membunuh musuh bangsa!
Cukup lama masa berlalu ketika pintu besar itu berhasil didobrak oleh Kempetai. Yaitu setelah mendatangkan sebuah truk dan membawa truk itu masuk dan menghantam pintu tersebut. Kempetai itu berlompatan masuk. Dan mereka pada berseru kaget.
Bulu tengkuk mereka merinding melihat penjagalan yang berlaku dalam rumah itu. Mereka segera memeriksa setiap sudut rumah. Mencari anak muda yang dilaporkan sebagai mata - mata yang masuk perangkap di rumah ini. Namun si Bungsu lenyap entah kemana.
Mereka memeriksa semua bilik. Termasuk bilik enam perempuan yang tinggal di rumah itu. Termasuk juga bilik si Amoy, anak si babah yang baru berumur tujuh belas tahun itu. Tapi si Bungsu tak ada. Semua perempuan itu tak mengetahui kemana anak muda itu pergi. Dia lenyap seperti hantu dalam cahaya bulan.
Komandan Kempetai mengumpulkan perempuan – perempuan itu. Mengumpulkan juga semua serdadu yang menggerebek rumah tersebut. Kepada mereka diperintahkan untuk tetap tutup mulut. Tak seorang pun boleh membicarakan hal ini.
Komandan Tentara Jepang di Bukittinggi Kolonel Fujiyama telah mengeluarkan perintah. Setiap kematian tentara Jepang dalam serangan atau perkelahian dengan penduduk pribumi, harus dipeti-eskan.
Jangan sampai menjalar keluar. Sebab kalau berita itu bocor keluar maka ada dua hal yang membahayakan kedudukan tentara Jepang. Pertama, penduduk pribumi, bangsa Indonesia yang sudah berniat melawan Jepang, akan bertambah semangat mereka.
Sebab ternyata ada orang yang mampu membunuh tentara Jepang yang ditakuti itu. Hal ini bisa mempercepat timbulnya pemberontakan anti Jepang di Minangkabau. Hal kedua adalah soal prestise.
Tentara Jepang sudah tentu akan terpukul malu. Bayangkan tentara kekaisaran Tenno Heika yang kesohor di negeri Matahari Terbit itu mati di tangan penduduk pribumi. Apalagi jika pecah kabar, bahwa tentara Jepang itu justru mati oleh tebasan samurai.
Dapat dibayangkan bahwa hal ini akan menimbulkan geger. Komandan tentara Jepang di Payakumbuh tidak mau mengambil resiko dihukum oleh Kolonel Fujiyama karena kematian perwira – perwiranya secara beruntun ini.
Dia berusaha menutupi kejadian ini untuk tak bocor ke atas. Sebab saat itu hukuman yang terkenal di antara perwira Jepang itu adalah hukuman harakiri.
Setiap perwira atau serdadu yang dinilai gagal total, kepadanya diberi "kehormatan" untuk bunuh diri. Komandan Jepang yang ada di Payakumbuh, Mayor Sin Icci Eraito, tak mau menerima aib seperti itu. Itulah sebabnya dia memerintahkan untuk menutup berita pembantaian itu serapat mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIKAM SAMURAI
ActionTIKAM SAMURAI adalah bagian dari sebuah serial karya Makmur Hendrik, yang menggabungkan seni bela diri silat dengan elemen sejarah. Cerita ini berfokus pada perjalanan seorang pemuda bernama Si Bungsu dari desa Situjuh Ladang Laweh di kaki Gunung Sa...