0022 - Terjebak di Bus Maut!

22 3 2
                                    

Dia duduk di sebuah kursi, si Bungsu duduk di depannya. Anak muda ini masih dikuasai perasaan herannya. Kenapa gadis ini tak menaruh dendam padanya atas kematian ayahnya.

"Tentang ayah yang engkau bunuh, dia memang pantas mendapat hukuman seperti itu. Dia telah meracuni ayahku. Kemudian mengawini ibu. Ibuku waktu itu hamil. Enam bulan setelah mereka kawin, aku pun lahir. Dia memerlukan uang untuk membiayai Partai Komunis di negeri ini.

Dia memerlukan pengaruh serta pangkat untuk berkuasa. Untuk kedua maksud itu dia mempergunakan tubuhku. Aku tak berdaya melawan. Dia seorang yang berhati bengis. Yang suka memukul dan menyiksa orang.

Ibuku meninggal dunia karena dikurung selama enam hari tanpa diberi makan. Peristiwa itu terjadi ketika aku berumur delapan tahun. Ibu dikurung dan mati dalam kamar ini..."

Gadis Cina itu menangis terisak – isak meng­i­ngat jalan hidupnya yang teramat pahit.

"Astaghfirullah..." si Bungsu mengucap perla­han. Lama gadis itu menangis terisak – isak. Akhirnya si Bungsu memegang bahunya.

"Tenanglah Mei – mei. Kurasa ibumu sudah te­nang arwahnya di akhirat. Dendamnya telah ku­balaskan..."

"Ya, dendam ibu, dan dendamku telah Koko ba­laskan. Terima kasih. Itulah sebabnya kenapa saya harus menyelamatkan Koko dari tangan Kempetai dua hari yang lalu..."

Si Bungsu terharu. Gadis itu memanggilnya dengan sebutan koko. Sebutan itu berarti abang yang sa­ngat disayangi dalam bahasa Indonesia. Dia terharu gadis itu memanggilnya dengan koko. Sedang terhadap adik perempuan yang disayangi, sebutannya adalah moy – moy. Dia mengetahui itu dari beberapa temannya orang Tionghoa bulan – bulan terakhir ini.

Meskipun gadis ini telah ternoda hidupnya, namun itu bukan atas kehendaknya sendiri. Dia pegang bahu Mei – mei, kemudian berkata lembut.

"Tenanglah Moy – moy. Aku akan melin­dungimu dari orang – orang yang berniat mengganggumu..."

Mei – mei memang terdiam. Gadis Cina yang cantik ini, berwajah bundar berhidung mancung de­ngan mata yang hitam berkilat, hampir – hampir tak percaya bahwa anak muda yang dipanggilnya de­ngan koko itu balas memanggilnya dengan sebutan moy – moy.

Ketika dia yakin bahwa memang anak muda itu berkata demikian, dia lalu tegak dan tiba – tiba mereka telah berpelukan.

"Terima kasih, Koko... Terima kasih..." isaknya.

Si Bungsu memang seperti mendapatkan seorang adik. Dia pernah merasakan kasih sayang seorang saudara perempuan. Yaitu kakaknya yang mati diperkosa Saburo. Kini seperti mendapatkan kembali tempat menumpahkan sayang yang telah hilang itu.

Akan halnya Mei – mei, gadis Tionghoa yang malang itu, gadis berusia tujuh belas tahun itu, memang seorang anak tunggal yang selalu merasakan teraniaya. Lelaki yang diharapkannya menjadi pelindungnya adalah ayah ti­rinya.

Tetapi lelaki itu, si babah gemuk komunis itu, ternyata telah menjualnya dari satu lelaki ke lelaki yang lain. Gadis itu memang tak pernah mendapatkan perlin­dungan dan kasih sayang.

Kini ada seorang pemuda Melayu yang telah menolong membalaskan dendamnya, dan pemuda itu memanggilnya sebutan adik, alangkah terlindung­nya dia terasa.

"Apakah Koko akan pergi ke Bukittinggi mencari Saburo...?"

Mei – mei bertanya ketika mereka kembali ke ruangan pertama. Si Bungsu menatapnya.

"Kalau aku pergi, apakah engkau akan ikut Moy – moy...?"

Gadis itu menunduk. Lama dia menatap jari – jari tangannya. Kemudian ketika dia mengangkat kepala, si Bungsu melihat matanya basah. Gadis itu berkata perlahan.

TIKAM SAMURAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang