0011 - Ketika Takdir Memanggil

16 4 0
                                    

Telinga­nya mendengar langkah kaki mereka. Namun badannya memang letih. Makan tangan dan kaki keenam lelaki itu harus dia akui sangat ligat. Perutnya terasa mual. Kepalanya berdenyut-denyut.

Kejadian itu sudah diduga akan terjadi oleh Imam di mesjid tadi. Ketika keenam lelaki itu mempermak si Bungsu, Imam itu menyaksikannya dari balik jendela mesjid.

Dia ingin berteriak mencegah orang-orang itu memukuli si Bungsu. Ingin benar. Dia kasihan pada anak muda itu. Namun dia tidak berani menampakkan diri.

Dia tak punya cukup keberanian untuk melarang mereka. Dia Imam mesjid ini. Di mesjid ini dia menerima sedekah, wakaf, zakat atau uang akad nikah dari penduduk.

Kalau dia sempat tak sependapat dengan penduduk, bisa-bisa penduduk tak lagi menyerahkan zakat fitrah atau sedekah pada­nya. Atau kalau akan menikah, orang pergi saja ke imam atau kadi yang lain. Itu berarti menutup mata pencahariannya.

Dalam zaman serba kacau seperti sekarang ini, kehilangan mata pencaharian merupakan malapetaka hebat. Ah, tidak. Dia tak mau kehilangan mata pencaharian dengan melawan arus pendapat penduduk.

Tapi ketika keenam lelaki itu menyelesaikan "pekerjaan tangan" mereka terhadap si Bungsu, hingga tergeletak dengan tubuh lenyai, tiba-tiba dia merasa malu pada dirinya.

Kini dia berada dalam rumah Allah, dimana tiap Jumat dia berkhotbah menyerukan berbuat kebaikan. Menyeru berbuat jujur. Menyeru untuk berkata benar. Menyeru untuk tidak munafik. Orang munafik kebencian Allah, begitu dia sering berkata dalam khotbahnya.

Namun apa nama pekerjaan itu? Apakah de­ngan membiarkan anak muda itu dilanyau, bukan suatu perbuatan pengecut dan munafik? Bukankah selesai Jumat tadi dia berkata pada anak muda itu bahwa dia mengetahui kebaikannya? Bukankah dia mengetahui bahwa anak muda itu tidak bersalah?

Kenapa dia tak berani membela anak muda itu? Apakah kepentingan perutnya jauh lebih penting daripada menegakkan suatu kebenaran? Ah ,tiba-tiba dia menjadi malu berada dalam rumah Allah ini.

"Ampunkan hambamu yang lemah ini, ya Allah," bisiknya sambil melangkah turun.

Dia melangkah ke arah si Bungsu yang masih menelungkup. Dia tahu, dari balik pintu dan jendela rumah-rumah penduduk banyak orang yang mengintip pada si Bungsu. Itu juga berarti mengintip padanya yang kini berjongkok dekat tubuh anak muda ini.

"Bungsu..." dia memanggil sambil membalikkan tubuh si Bungsu yang tertelungkup.

Dia merasa iba melihat hidung dan bibirnya yang berdarah.

"Bangkitlah. Mari ke rumah saya..."

Anak muda itu bangkit dengan berpegang kuat-kuat pada tubuh imam itu. Imam itu sudah tua. Tubuh­nya sudah lemah. Namun kali ini tubuhnya seperti mendapat tenaga baru untuk memapah anak muda itu ke rumahnya.

Di jenjang dia berhenti. Se­ngaja dila­yangkan pandangannya keliling. Menatap ke rumah-rumah sekitarnya dengan kepala terangkat. Seperti me­ngatakan pada orang yang mengintip itu, bahwa dia membela anak muda ini.

"Saleha... buka pintu...!"

Dia memanggil ke rumah. Seorang gadis membuka pintu dengan ragu-ragu. Gadis berkulit kuning berwajah bundar itu menatap pada ayahnya, kemudian menatap ke rumah-rumah di sekitarnya. Seolah-olah merasa cemas.

"Bukalah. Sediakan air panas di panci dan kain bersih. Cepat...!"

Gadis itu cepat menghilang ke belakang. Dan imam itu membawa si Bungsu naik. Mendudukkannya di ruang tengah. Di atas tikar pandan yang bersih. Saleha muncul lagi membawa baskom dengan air hangat-hangat kuku serta sehelai kain lap bersih.

TIKAM SAMURAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang