0009 - Darah dan Dosa: Balas Dendam yang Tertunda di Gunung Sago

22 4 0
                                    

Langkah cindaku itu amat ringan. Di atas batu besar pula. Hampir-hampir tak terdengar. Namun dia sudah belasan purnama berlatih. Dia tak usah khawatir. Dia dapat mendengar dengan jelas langkah cindaku itu.

Langkah terutama jadi jelas baginya karena beradunya kuku cindaku yang panjang itu dengan batu. Bagi orang biasa, geseran itu pasti takkan terdengar. Namun bagi si Bungsu, suara gesekan itu seperti gesekan pada batu asahan.

Cindaku itu berhenti tepat di belakangnya. Sejajar dengan tulang punggungnya. Tegak sedepa dari punggungnya. Itu berarti dia bisa menjangkau punggungnya dengan tangannya yang panjang.

Dia menanti, sementara itu suara dengus dan berebutan daging mentah di bawah sana, sudah terhenti. Dia yakin harimau-harimau itu kini menatap ke atas. Ke arah mereka.

Si Bungsu tetap memejamkan mata. Dia mendengar nafas cindaku itu memburu. Dia yakin kini cindaku itu bersiap untuk menyerang. Nafasnya yang memburu itu sebagai tanda.

Nafas memburu itu juga sebagai pertanda bahwa cindaku itu juga menaruh rasa gentar. Ya, sama saja seperti dia yang juga gentar. Nafasnya juga memburu.

Tiba-tiba dia rasakan angin bersiut. Dan itu berarti cindaku itu menyerang! Samurainya bekerja. Dia berputar sangat cepat menirukan berputarnya macan kumbang. Kemudian samurainya berkelebat.

Tras! Tras! Tras..!!

Tiga kali sabetan cepat dan kuat, kemudian dia menikamkan samurai itu ke belakang. Trass!!

Dia duduk di lutut kanan dan menekankan samurai itu ke belakang kuat-kuat. Namun makhluk jadi-jadian di belakangnya bergerak. Tiba-tiba sebuah hantaman di kepalanya!

Dia terpekik, dan terlempar ke batu. Samurainya lepas! Kulit kepalanya bahagian belakang terkelupas selebar telapak tangan! Buat sesaat dia nanar. Namun di antara rasa terkejutnya yang luar biasa, dia ingat bahwa dia harus tetap hidup. Dia sadar bahwa dirinya kini dalam keadaan kritis.

Loncat tupai!

Gerak itu kembali dia lakukan. Berkali-kali gerakan tupai bergelut itu telah menyelamatkan dirinya. Kini begitu tubuhnya menghantam batu, dia bergulingan tiga kali ke kanan. Cindaku itu menerkam.

Seringan tupai dia bergulingan dengan lambungan sehasta tiga kali ke kiri. Kemudian ber­putar. Cindaku itu menerkam ke sana. Dia meloncat bersalto di udara ke belakang! Tegak di atas kedua kaki dengan lipatan lutut di bengkokkan. cindaku itu tegak pula empat depa di depannya.

Dia hoyong. Luka di punggung dan di belakang kepalanya mengucurkan banyak darah, dan berdenyut-denyut. Dia menatap cindaku itu. Ternyata apa yang dikhawatirkan itu benar ada. Cindaku itu tidak mempan oleh senjata tajam. Tidak mempan.

Cindaku kecil tadi rupanya belum mencapai tingkat jadi-jadian yang sempurna. Masih banyak kadar manusianya. Itulah sebabnya dia termakan oleh senjata tajam. Tapi yang satu ini nampaknya sudah mencapai tingkatan yang sempurna. Tak lagi dimakan besi.

Kini si Bungsu tidak lagi bersenjata selain sarung samurai. Samurainya sendiri berada sedepa di depannya. Berarti senjata itu berada di antara dia dengan cindaku itu.

Dia tak berani gegabah memu­ngut senjata yang terletak sedepa di depannya itu. Tidak, itu akan memudahkan cindaku itu menerkam­nya. Dia makin lemah.

Rasa takut yang luar biasa menjalarinya. Dia takut mati. Tapi takut tak bisa membalaskan dendam keluarganya. Cindaku itu mulai lagi mempersiapkan diri untuk me­nyerang, Si Bungsu tetap tegak di tempatnya.

Ketika cindaku itu menggeser tegak ke kiri, dia menggeser tegaknya ke kanan. Jadi mereka bergerak searah. Dia bukannya tak tahu, bahwa cindaku itu kembali ingin menyerangnya dari sebelah kiri. Yaitu di bahagian rusuknya yang luka. Tapi dia sendiri juga punya maksud menggeser tegaknya ke kanan. Dia ingin meletakkan samurai itu di bahagian kirinya.

TIKAM SAMURAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang