0001 - Sang Pejudi: Duel di Bawah Bulan

117 11 6
                                    

Perkelahian yang tak seimbang itu sege­ra saja berakhir. Keempat lelaki berdegap tersebut dengan mudah menyikat lawan mereka. Lawan yang mereka sikat itu adalah seorang anak muda yang berusia sekitar 19 tahun.

Anak muda itu tergelimpang dekat sungai di belakang surau tinggal, jauh di pinggir kampung. Pakaian anak muda itu sobek-sobek. Dia tak sadar diri. Uangnya terserak-serak.

Keempat lelaki yang mengeroyok dan melumpuhkan dirinya itu segera memunguti uang yang terserak-serak itu. Uang itu tadinya adalah uang mereka berempat. Berpindah tangan pada anak muda itu dalam suatu perjudian yang berlangsung sejak sore kemarin.

Menjelang subuh, ternyata anak muda itulah yang menang. Dia memang seorang pejudi ulung. Tiap berjudi jarang yang kalah. Tapi malangnya dia selalu disi­kat lawan yang dia kalahkan. Perjudian hampir selalu diakhiri perkelahian.

Dalam tiap perkelahian dipastikan dialah yang kalah, karena lawan-lawan yang dia kalahkan bersatu mengeroyoknya. Lalu selalu saja uang yang telah dia menangkan di­sikat oleh lawan-lawannya kembali. Termasuk juga uang miliknya sendiri!

"Lihat-lihat dulu orang yang akan waang lawan buyung. Jangan sembarang main saja...!" Salah seorang dari lelaki yang berempat itu berkata.

Tak ada sahutan. Karena anak muda itu memang tak mendengar apa-apa. Dia tergolek pingsan. Keempat lelaki itu kemudian pergi. Kertas koa berserakan di antara puntung rokok daun enau.

Hampir tengah hari anak muda itu baru sadar dari pingsannya. Tak ada yang mengetahui bahwa dia tergolek di sana. Tempat. mereka berjudi memang tempat yang terpencil. Di sebuah surau yang telah lapuk.

Surau itu tak lagi pernah dipakai sejak seorang guru mengaji mati diterkam harimau saat pulang menga­jar. Kampung jadi gempar. Dan surau tempat mengaji dipindahkan orang ke tengah kampung. Tapi lama-lama bekas surau itu berobah jadi tempat orang bermain koa.

Mereka tak takut pada harimau. Sebab umumnya pejudi-pejudi itu adalah orang-orang yang mahir dalam bersilat. Lama-lama, berjudi di surau bekas itu menjadi suatu kebanggaan di antara para pejudi. Sebab berjudi di sana merupakan salah satu ujian mental.

Hanya orang orang berani dan berilmu tinggi saja yang berani main ke sana. Untuk mencapai surau itu harus melewati kuburan. Kemudian sebuah lembah berbelukar. Baru surau.

Lembah berbelukar itu, dahulu, ketika surau itu masih tempat mengaji, adalah sawah. Tapi kini sudah diting­gal dan jadi belukar.

ANAK muda itu menggerakkan tangannya. Dia masih tertelung­kup. Menggerakkan kaki. Matanya masih terpejam. Hidungnya mencium bau tanah liat. Telinganya lamat-lamat mendengar kicau burung.

"Hm... aku masih hidup," bisiknya.

Dia coba memutar tubuh. Kepalanya terasa berdenyut. Tapi dengan menghajan semua tenaga, dia berhasil juga menelentangkan tubuh. Matanya jadi silau menatap sinar matahari yang terjun dari sela-sela daun pepohonan.

Dia bangkit. Duduk dengan bersitumpu pada kedua lengannya. Menggoyang-go­yang­kan kepala yang kembali berdenyut sakit. Dia segera ingat pada kemenangannya menjelang subuh tadi. Tapi dia tak berniat untuk memeriksa uang di kantongnya. Tak perlu.

Uang itu tak perlu diperiksa. Pasti sudah disikat orang. Dia segera mengumpulkan ingatannya kembali. Merekat sisa-sisa ingatannya sejak kemarin. Ya, kemarin senja dia datang kemari bersama empat orang lelaki.

Keempat lelaki itu dia kenal tatkala membeli jagung bakar di Pasar Jumat. Dia tak tahu siapa mereka. Tapi dari cara mereka tegak dan bicara, dia sege­ra mengenal bahwa mereka adalah parewa dan pe­judi.

Dia kenal orang-orang jenis ini. Sebab dia sendiri adalah pejudi yang lihai. Dia ahli dalam berkoa atau main dadu. Keempat lelaki itu dia lihat tengah jongkok dekat sebuah pedati yang dipenuhi tembakau. Dia ikut jongkok.

TIKAM SAMURAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang