Kini dia mengingat kembali semua peristiwa itu. Wajahnya yang murung, matanya yang sayu, terangkat perlahan. Dia menarik nafas panjang. Seharusnya dia sudah berhenti main setelah menang besar sepekan yang lalu. Dia berniat membeli sawah, atau pergi merantau dengan uang itu.
Hidup di kampung ini terasa membosankannya. Tapi dasar pejudi, begitu mengetahui ada pejudi lain, dia segera berselera lagi. Dan inilah akibatnya.
Lambat-lambat dia merangkak ke sumur. Mencuci muka dan sekujur tubuhnya yang bergelimang luluk.Meminum air sumur itu beberapa teguk. Kemudian naik kembali ke surau.
Dia memungut beberapa puntung rokok daun nipah. Membuka gulungannya. Kemudian mengumpulkan tembakau dari sisa rokok itu. Dari kertas usang yang masih menempel di dinding surau dia menggulung sebatang rokok dengan tembakau sisa tadi.
Lalu bersandar ke tiang tengah. Lalu mengambil anak korek api yang terserak. Lalu membakar rokoknya. Matanya terpejam menghisap rokok assembling itu. Saat matanya yang sayu terpandang pada kertas-kertas koa yang berserakan, dia memungutnya beberapa buah.
"Babihalus... Jarumudang... Talisirah," katanya sambil melemparkan koa itu ke lantai satu demi satu seraya menyebutkan nama kertas-kertas tersebut.
Rokok itu tak habis dia hisap. Dia terbatuk-batuk. Pikirannya melayang pada Baribeh dan ketiga temannya. Dia bersumpah untuk mencari mereka. Akan dia ajak lagi berjudi. Dan dia yakin akan mengalahkan orang-orang itu.
Hanya kini dari mana dia harus mencari modal? Akan dia jualkah kambingnya yang tiga ekor itu? Ah, Ibu dan ayahnya pasti marah.
Marah ibunya mungkin dapat dia amankan. Ibunya paling-paling marah sebentar. Yang dia takuti adalah ayahnya. Ayahnya suka main tangan. Mentang-mentang guru silat.
Puih, dia jadi mual melihat ayahnya yang dia anggap banyak lagak itu. Apalagi kalau ayahnya sudah mengajar di sasaran silat. Hatinya jadi bengkak melihat. Dia paling benci melihat orang belajar silat.
Apa untungnya belajar silat? Mending belajar judi. Uang dapat perut kenyang, pikirnya. Meski telah berkali-kali dia dikeroyok orang dalam berjudi, dan berkali-kali pula ayah dan kakaknya memaksa untuk belajar silat, namun dia tetap tak menyukai silat.
Dia memang termasuk anak yang aneh. Ayahnya adalah seorang guru silat ternama, demikian pula kakaknya. Tapi dia sendiri lebih suka main koa atau main layang-layang.
Dia tahu ayahnya tak menyenangi perangainya itu. Tapi apa pedulinya. Dia tidak pernah menyusahkan mereka, toh?
Dia memang beberapa kali dihajar oleh pejudi-pejudi lain. Sering babak belur dalam perkelahian. Tapi dia tak pernah mengadu pada ayah dan saudaranya yang jagoan silat itu.
Tidak. Pantangan baginya untuk mengadu. Bagi dia judi merupakan suatu lambang kejantanan. Kenapa hanya pesilat yang disebut jantan? Kenapa pejudi tidak? Bukankah berjudi juga membutuhkan keahlian?
Malah baginya judi lebih tinggi nilainya dari silat. Dalam judi orang mengadu otak. Sementara dalam silat orang mengadu otot. Nah, secara harafiah bisa diartikan bahwa dia jauh lebih berotak dari pada ayah atau pesilat mana pun! Begitu alur fikirannya.
Tambahan lagi, berjudi dia anggap mempunyai seni yang tinggi. Dalam main dadu dibutuhkan semacam firasat yang tajam untuk mengetahui "mata" berapa yang akan muncul di atas. Diperlukan perhitungan yang teliti untuk gim sampai tiga kali dalam main koa.
Dalam silat mana ada seninya? Yang ada hanya main sepak, pukul, siku, tangkap, cekik, atau tendang uncang-uncang di kerampang, atau banting. Bah, benar-benar keras dan kasar. Dia benar benar tak menyukainya. Dia lalu tertidur karena lelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIKAM SAMURAI
AçãoTIKAM SAMURAI adalah bagian dari sebuah serial karya Makmur Hendrik, yang menggabungkan seni bela diri silat dengan elemen sejarah. Cerita ini berfokus pada perjalanan seorang pemuda bernama Si Bungsu dari desa Situjuh Ladang Laweh di kaki Gunung Sa...