0028 - Datuk Penghulu Basa & Tiga Pendekar

13 3 0
                                    

Datuk Penghulu Basa tak memiliki murid yang ba­nyak. Bukannya tak ada orang yang ingin berguru padanya. Cukup banyak orang yang datang. Tapi dia selalu menolak dengan halus.

Kini muridnya hanya tiga orang. Si Upik anak­nya. Salim kemenakannya dan Mei – mei. Hanya tiga orang. Namun dia merasa puas dengan ketiga murid­nya ini. Salim dan Mei – mei menjadi dua sahabat yang baik.

Kehadiran Mei – mei di rumah Datuk Penghulu tak banyak diketahui orang. Pertama karena rumah datuk itu terletak di tengah kebun yang luas. Kebunnya itu dikelilingi pula oleh hutan bambu di Padanggamuak. Di daerah itu hanya ada beberapa rumah.

Mei – mei juga sangat menyayangi Upik. Gadis kecil ini tak punya abang dan tak punya kakak. Itulah kenapa dia memanggil Mei – mei de­ngan sebutan uni. Mei – mei senang punya adik seperti dia. Baik Datuk Penghulu maupun isteri­nya, sangat menya­yangi Mei – mei.

Gadis itu sangat pandai membawa diri. Dia sudah bisa bertanak dan menggulai. Pandai merendang dan membuat dendeng. Mei – mei gadis yang tak segan bekerja keras membantu kerja isteri Datuk Peng­hulu.

Hari ini selesai latihan, Mei – mei mengawani si Bungsu. Dia ingin membawa anak muda itu berjalan – jalan keliling rumah untuk melatih kakinya. Si Bungsu menuruti kehendak gadis itu. Mereka berjalan di bawah pohon –pohon bambu.

Kemudian tengah hari mereka kembali ke rumah. Mei – mei dan Upik membantu isteri datuk itu bertanak. Si Bungsu duduk – duduk di bawah pohon jambu di depan rumah tersebut, dikawani oleh Salim. Salim menceritakan kemajuan – kemajuan yang dicapai oleh Mei – mei dalam latihan silat.

"Saya dengar Mak Datuk menceritakan tentang perkelahian engkau dengan penyamun – penyamun di Penginapan itu..." Salim berkata setelah dia bercerita tentang kemajuan Mei – mei dalam silat.

"Oh ya...?"

"Ya. Saya ingin sekali belajar mempergunakan samurai itu. Apakah sulit belajarnya...?"

Si Bungsu tersenyum.

"Ilmu silatmu cukup tinggi. Saya pernah belajar silat. Namun tak pernah bisa. Saya memang tak ada jodoh untuk jadi pesilat. Mempergunakan samurai ini pun hanya karena kekerasan hati saja. Kekerasan tekad untuk membalas dendam..."

Dia lalu menceritakan nasib keluarganya. Nasib yang menimpa diri mereka. Cerita itu pernah dia ceritakan pada Datuk Penghulu Basa dan isterinya ketika lima belas hari dia terbaring.

Dia juga menceritakan nasib yang menimpa diri Mei – mei kepada kedua suami isteri itu. Itulah sebabnya kenapa suami isteri kusir bendi itu merasa sayang pada Mei – mei. Mereka menganggap Mei – mei sebagai kakak si Upik. Kini si Bungsu menceritakan perihal diri­nya pada Salim.

"Saya tak menyangka demikian pahitnya hidupmu Bungsu.." kata Salim, setelah si Bungsu selesai bercerita.

Si Bungsu menarik nafas panjang, ketika Salim permisi sembahyang ke mesjid di tepi jalan besar di luar hutan bambu ini, si Bungsu tegak dan berjalan perla­han dengan dibantu sebuah tongkat ke rumah. Di ruang tengah dia melewati isteri Datuk Penghulu yang te­ngah sembahyang. Dia ingat belum sembah­yang Dzuhur.

Tapi dalam keadaan sakit begini apakah dia mung­kin untuk sujud? Atau sembahyang duduk sajalah? Dia mencari kain sarungnya. Mungkin dijemur.

Dia kembali lewat di ruang tengah. Akan ke belakang mencari Mei – mei untuk mengambil sarungnya. Namun di pintu ruang tengah dia tertegak seperti patung. Dia tertegak diam melihat pada perempuan sembahyang yang tadi dia sangka isteri Datuk Penghulu itu.

Perempuan itu nampaknya sudah selesai sembah­yang. Kini dia tengah menampungkan ta­ngannya membaca doa. Ketika dia benar – benar selesai sembahyang, dia menoleh pada si Bungsu. Si Bungsu benar – benar terkesima. Dia ingin bicara. Namun lidahnya terasa kelu.

TIKAM SAMURAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang