0012 - Muncul dari Kegelapan

19 4 0
                                    

Tak seorang pun yang melihat bergeraknya kedua samurai orang itu. Kedua-duanya alangkah cepatnya. Namun, kini si Bungsu kelihatan berlutut di lutut kiri­nya. Samurainya menghujam ke belakang. Di ujung samurainya ini, Kempetai gemuk itu tertusuk persis di dada kiri!

Kempetai itu tertegak diam. Matanya mendelik. Samurainya terangkat tinggi. Dia menggertakkan gigi. Mengumpulkan tenaga. Kemudian meng­ayunkan samurai di tangannya ke tengkorak si Bungsu yang duduk berlutut di bawah, di depannya. Saleha terpekik.

Begitu pula beberapa perempuan yang tegak dengan kaku di sekitar halaman mesjid itu. Namun hayunan samurai itu hanya sampai separoh. Kempetai itu rubuh ke tanah bersama samurai­nya yang tertancap di perutnya.

Trak! Samurai itu masuk kembali ke sarungnya. Pekikan si Bungsu sebentar ini, sebelum samurainya menghabisi nyawa si gemuk itu, adalah pekikan yang tidak hanya menegakkan bulu roma penduduk. Tapi juga membuat semangat Kempetai gemuk itu seperti terbang.

Pekik­an itu membuat konsentrasinya buyar. Itulah salah satu sebab kenapa serangannya tak terarah. Namun di atas itu, yang tak dia sangka sedikit pun, bahkan hampir tak masuk di akal, adalah kecepatan anak muda itu mempergunakan samurai.

Ada lelaki bangsa lain, yang masih muda, yang mampu berkelahi dengan samurai jauh lebih cepat dari seorang Kempetai! Apakah ini bisa terjadi? Ketika kedua anak buahnya meninggal tadi, dia jadi heran.

Kuda-kuda dan langkah kaki anak muda ini tak menurut aturan dan teori seorang samurai. Dia nampaknya asal melangkah saja. Bahkan beberapa gerakannya terlihat canggung dan lucu. Tapi kenapa dia bisa secepat itu?

Namun Kempetai gemuk itu tak sempat mengambil kesimpulan atas perta­nyaan di kepalanya. Dia keburu mati. Kalau Kempetai itu sudah menganggap bahwa si Bungsu terlalu cepat dengan samurainya, maka penduduk kampung itu benar-benar tak tahu apa yang terjadi.

Mereka hanya melihat si Bungsu sekali memegang samurai terhunus. Yaitu ketika dia menikamkan samurai itu pada si gemuk di belakangnya. Kemudian samurai itu di­sentakkan. Lenyap ke dalam sarungnya.

Kini anak muda itu seperti hanya memegang sebuah tongkat kayu yang panjangnya kurang sedepa. Dia tegak di sana. Di an­tara mayat-mayat Kempetai itu. Menatap pada Saleha, pada Sawal dan Malano.

Semua mereka menatap padanya dengan diam. Mereka benar-benar takjub. Kejadian ini terlalu luar biasa bagi mereka. Anak muda itu masih tegak dengan muka yang murung dan mata sayu.

Lambat-lambat si Bungsu menoleh pada Imam yang masih tersandar di pintu mesjid.

"Saya rasa mereka hanya datang bertiga kemari. Mudah-mudahan yang lain tak tahu. Kuburkan meraka jauh-jauh. Lenyapkan segala tanda kedatangan mereka kemari. Jangan sampai yang lain tahu. Kalau mereka tahu dia mati di sini, yang lain akan mereka bunuh. Terima kasih atas bantuan Pak Imam pada saya..."

Dia menoleh pada Malano dan Sawal. Lalu berkata, "tinggalkan kampung ini buat sementara. Agar Jepang-jepang itu tak curiga...."

Kemudian dia menghadap lagi pada Malano yang tadi melanyau nya dengan tangan.

"Terima kasih Malano, engkau seorang pejuang. Ayah pasti bangga mempunyai murid seperti eng­kau. Siang tadi kalian memberiku waktu sampai sore untuk berada di kampung ini. Saya rasa sudah tiba saatnya bagi saya untuk pergi..."

Dia lalu memandang pada Saleha. Gadis itu juga memandang padanya.

"Terima kasih Saleha. Atas air hangat dan kain lap yang engkau berikan tadi..."

Semua tak ada yang menjawab. Tak ada yang bersuara. Dan anak muda itu berjalan menuju hilir kampung. Suaranya tadi terdengar tenang. Tak ada nada dendam. Tak ada nada sakit hati. Dia tetap seperti dahulu. Wajahnya tetap murung dengan tatapan mata yang sayu.

Ya, tak ada yang berobah pada dirinya. Dia tetap seperti dulu. Bedanya kini hanyalah: Samurai di tangan dan dendam di hati!

Si Bungsu makin lama makin jauh. Semua orang ingin memanggilnya. Agar dia jangan pergi. Mereka ingin minta maaf atas apa yang telah mereka perlakukan terhadap anak muda itu. Saleha, Mala­no, Sawal. Semuanya.

Namun tak seorang pun yang mampu membuka mulut. Tak ada suara yang mampu diucapkan. Tak tahu bagaimana cara memulai ka­limat.

Imam, ayah Saleha itulah yang bicara. Dia bicara perlahan, di antara air matanya yang mengalir turun. Dia bicara dari pintu mesjid, sambil bersandar ke pintu, sambil memegangi luka di dadanya.

"Ketika semua kita melarikan diri dari kampung ini setahun yang lalu, dialah yang menguburkan jenazah anak kemenakan kalian. Dialah yang mengu­burkan suami dan isteri kalian. Dia tak ingin mayat-mayat itu dimakan binatang buas.

Dia kuburkan mereka dalam keadaan dirinya sendiri luka parah. Bukankah engkau Datuk Labih melihat bahwa dia kena bacokan samurai sebelum engkau sendiri me­lari­kan diri? Meninggalkan kakak perempuanmu diperkosa dan dibunuh tentara Jepang...?

Kemudian engkau pula yang mengatakan pada orang kampung bahwa tak mungkin dia menguburkannya. Bahwa bangkai­nya pasti telah diseret binatang buas dan memakannya di rimba. Bahwa kalian semua, mempercayai bahkan memang berharap anak itu mendapat celaka se­perti itu. Bukankah begitu...?"

Tak ada yang menjawab. Beberapa orang kelihatan menghapus air mata. Imam itu juga menghapus air mata di pipinya yang tua. Tiba-tiba dia menjadi muak dengan melihat orang kampungnya ini. Dia juga muak pada dirinya. Kenapa tak sejak dahulu dia mempu­nyai keberanian untuk berkata begini?

Seekor burung Gagak terbang tinggi. Suaranya terdengar pilu. Gaaak.... gaaak...gaaak. Di ujung sana, tubuh si Bungsu lenyap di balik tikungan. Pergi bersama tenggelamnya matahari senja.

Hilang si Noru tampak Pagai

Hilang dilamun-lamun ombak.

Hilang si Bungsu karano sansai

Hilang di mato urang banyak.

TIKAM SAMURAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang