0003 - Khianat di Tengah Perang

40 7 0
                                    

Kabar tentang putusnya pertunangan itu se­gera tersebar di kampung-kampung berdekatan. Namun para pemuda di kampung-kampung itu tak segera dapat bergembira dengan kabar tersebut.

Sebab bersamaan dengan putus­nya pertunangan itu, ke kampung mereka, dan juga ke kampung-kampung lainnya, berdatangan serdadu Jepang. Mula-mula para serdadu itu datang de­ngan baik-baik.

Tapi itu hanya sebentar. Sepekan kemudian se­gera diketahui bahwa mereka sebenarnya tengah mencari kaum lelaki. Semula dikatakan bahwa kaum lelaki dibutuhkan tenaganya untuk bekerja di kota.

Beberapa kantor di Bukittinggi, Payakumbuh, Padangpanjang dan Padang membutuhkan tenaga lelaki. Begitu menurut kabar yang disiarkan. Namun kabar itu hanya mampu bertahan sebentar. Sebab pekan berikutnya Jepang-jepang itu tak lagi meminta kaum lelaki dengan bujukan.

Kini mereka main tangkap. Penduduk segera tahu dari beberapa orang di kota, bahwa lelaki yang ditangkapi dan dibujuk dahulu, ternyata dikirim ke Logas. Sebuah tempat pendulangan emas di hutan belantara Riau.

Selain dipekerjakan di tambang batu bara, kaum lelaki juga dipaksa membuat jalan kereta api. Tidak hanya sampai di situ kekejaman Jepang tersebut. Mereka mulai mengganggu anak isteri orang.

Dalam beberapa kali perkelahian sudah ada dua tiga penduduk yang mati kena tebas samurai, sejenis pedang panjang yang tajamnya bukan main, dan baru kali itu mereka lihat.

Beberapa lelaki mulai menyusun kekuatan untuk melawan kekejaman Jepang itu. Mereka terutama ada­lah pesilat-pesilat di bawah pimpinan Datuk Berbangsa, ayah si Bungsu. Mereka berlatih silat di tengah malam buta. Disaat serdadu Jepang tak merondai kampung itu.

Tempat mereka latihan juga tersembunyi. Sangat dirahasiakan. Latihan mereka kini di­tam­bah dengan cara menghindarkan serangan dengan pedang panjang seperti yang dipakai para Jepang itu.

Sebelum ini mereka tak pernah berfikir bahwa ada senjata seperti itu. Yang pernah mereka latih ada­lah menghindarkan tikaman keris yang panjangnya hanya dua tiga jengkal. Atau tebasan pedang yang panjangnya tak sampai dua hasta.

Tapi samurai Jepang itu panjangnya luar biasa. Lebih panjang dari kelewang yang selama ini mereka kenal. Cara mempergunakannya juga luar biasa cepatnya. Serdadu Jepang itu nampaknya juga pesilat-pesilat tangguh menurut ukuran negeri mereka sana.

Sebab dalam beberapa kali perkelahian antara Jepang dengan pesilat Minang di kampung mereka, pesilat-pesilat Minang itu pasti mati langkah dibuatnya. Tak sampai beberapa hitungan, si pesilat pasti rubuh dengan dada atau perut robek. Atau dengan leher hampir putus.

Jepang-jepang itu demikian cepat mencabut sa­murainya. Kemudian demikian cepatnya samurai itu berkelebat. Lalu dalam hitungan yang amat singkat, samurai itu kembali mereka masukkan ke sarung­nya.

Mulai saat dicabut, sampai memakan korban dua tiga orang, kemudian masuk kembali ke sarungnya, mungkin ha­nya dalam lima hitungan cepat. Artinya, hanya dalam lima detik lebih sedikit!

Sebagai pesilat, Datuk Berbangsa dan teman-temannya mengakui secara jujur kecepatan Jepang-jepang itu mempergunakan senjata tradisionil mereka.

Kini mereka berlatih bagaimana caranya melumpuhkan serangan senjata maut panjang itu. Sebagai alat latihan mereka mempergunakan kayu sebesar ibu jari kaki dan panjangnya hampir sedepa. Malam ini pun mereka sedang berlatih di tempat rahasia itu, dipimpin Datuk Maruhun, ayah Renobulan, bekas tunangan si Bungsu.

Gerimis turun malam itu. Jumlah yang ikut latihan hanya tujuh orang. Yang lain tengah bertugas menyusun kekuatan di tempat lain. Termasuk ayah si Bungsu.

Datuk Maruhun tengah memberikan petunjuk di tengah sasaran —gelanggang silat— tatkala tiba-tiba mereka dikejutkan oleh cahaya senter. Mereka berusaha menghindar dengan menyebar. Tapi ternyata sasaran itu telah dikepung oleh lebih selusin serdadu Jepang.

TIKAM SAMURAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang