Di siang hari yang cerah ini, setelah memastikan pintu mobil sudah tertutup dan terkunci setelah memarkirkannya di garasi, Changbin buru-buru tutup pintu gerbang dan bergegas memasuki rumah.
Kemarin adalah hari ulang tahun si kembar, tapi sayang ia malah tidak di rumah karena pekerjaannya mengharuskannya untuk menginap di studionya.
Merasa bersalah, si abang rela begadang untuk menyelesaikan tugas-tugasnya supaya tidak perlu bermalam lagi di hari selanjutnya dan hanya tidur sekitar dua jam. Bahkan kurang kalau diingat-ingat. Pria itu dibangunkan oleh bunyi dering telepon dari Chan yang saat dijawab ternyata—teriakan tangis dari Felix yang ingin si kakak segera pulang.
Jadi di sana, satu tangan menahan kantung kertas besar berisi kotak mainan gitar dan boneka kucing—hadiah yang sempat ia beli untuk si kembar—sementara satu tangan lain dengan susah payah mencoba membuka pintu depan, Changbin akhirnya melangkah masuk ke rumah.
"Halo, Kak Abin pulang!"
Changbin menggaruk kepalanya bingung. Rumah sepi. Padahal dia sudah mempersiapkan gendang telinganya kalau-kalau lima bocah kesayangannya akan langsung menjerit dan memeluknya hingga jatuh begitu ia membuka pintu.
Sang kakak dibuat lebih bingung tatkala ia berjalan menuju halaman belakang dan ternyata menemukan Chan dan Minho di sana, sedang memeluk satu buntalan yang dibungkus handuk dan sedang menangis meronta-ronta. Di sudut teras ada satu buntalan lagi yang dengan santai hanya memperhatikan kedua kakaknya beserta satu korban yang sedang dibalut handuk itu menjerit mengamuk sambil mengunyah kue sampai pipinya belepotan.
Itu Jisung.
Duduk di sudut teras memperhatikan Chan yang sedang memangku Felix dan Minho di depannya melakukan sesuatu pada anak itu.
Astaga. Changbin menggeleng tak habis pikir. Eksperimen apa yang sedang dilakukan kedua kakaknya ini pada Felix yang malang?
Wajah Felix memerah sempurna. Bocah itu menangis meraung-raung terlihat tidak nyaman di pangkuan Chan. Sayangnya tubuh bocah itu dililit handuk dan dipeluk oleh si sulung yang tentunya tenaganya jauh lebih besar. Dari ujung netranya, bocah itu mendapati satu sosok yang dicarinya sejak semalam akhirnya muncul dari arah dapur, dan begitu Felix dan Changbin akhirnya saling menatap—
"KAK ABIIINNNNN!! HUUUAAAAAAA— TOLONG LIXIEEEEEE!!"
"Eh? Sudah pulang?" Reaksi dari Chan dan Minho yang kelewat santai begitu mendapati sosok Changbin sementara Felix semakin meronta menjadi-jadi membuat sang abang semakin kebingungan. Apalagi saat Jisung dengan girang langsung menghampiri Changbin untuk minta digendong dan tidak mengabaikan Felix sama sekali.
"Tunggu, Abin pusing," Changbin lap mulut Jisung yang belepotan sebelum bocah itu mulai mengusak wajahnya ke bajunya, "Ada apa ini? Kenapa Felix ditahan seperti buronan dan menangis histeris begitu?"
"Tadi Kakek dan Nenek datang, awalnya hanya ingin memberi kado untuk Jisung dan Felix lalu mau bawa para Ovenger bermain ke Mall," Minho akhirnya buka suara, pandangannya masih fokus ke Felix, "Cuma tiba-tiba Nenek berkomentar kalau rambut si kembar sudah berantakan, Jisung juga dibilang lucu namun anak itu malah menangis,"
"Oh, ya?" Changbin lalu memandang Jisung, "Kenapa Jisungie menangis?"
"Jisungie itu keren, bukan lucu." Bocah itu menggembungkan pipinya, alisnya bertaut tanda protes.
"Jadi si kembar tidak mau ikut pergi, maunya dipotong rambutnya?"
"Betul, tapi hanya Jisung yang ingin dipotong rambutnya,"
"Lah? Felix?"
"LIXIE MAU RAMBUT PANJAAANG! KAK INOO KAK CHAN LEPAAS!"
"Kenapa tadi tidak ikut Hyunjinnie dan yang lain, dong? Malah maunya ikut Jisungie di rumah saja untuk dipotong rambutnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Skijeu Family
FanfictionMenjadi kakak itu luar biasa berat. Namun bahkan sebelum Chan, Minho, ataupun Changbin yakin kalau mereka akan menjadi kakak yang baik, Tuhan tahu-tahu sudah mengirimkan lima malaikat kecil untuk mereka. Ah, tunggu- malaikat... atau malah sebaliknya...