Hari terakhir sekolah, hari dimana biasanya si kelima termuda akan pulang lebih cepat dan bisa bermain sepuasnya tanpa harus mempedulikan pekerjaan rumah.
Dan mulai dari hari ini juga, si trio kakak harus bersiap untuk berperang, bertumpah darah dan disiksa. Tentunya bukan berperang seperti menjalankan tugas wajib militer, namun berperang dalam menjaga si lima buntalan yang tenaganya akan semakin bertambah berkali-kali lipat saat akhir pekan. Bonus dengan badan dan tulang yang rasanya remuk berkeping-keping kalau-kalau tubuh si kakak dijadikan trampolin atas usul Jisung. Tapi jujur saja, ketiganya sudah biasa menjalankan itu. Iya. Sudah biasa.
Seperti sekarang, Minho yang ditugaskan oleh Chan untuk menjemput si trio sulung mini sudah bersiap di pintu gerbang sekolah kalau-kalau dirinya akan diterjang oleh Jisung dan Felix yang biasanya langsung berlari menubrukkan diri ke kakinya dan berebut minta digendong begitu keluar dari kelasnya masing-masing.
Namun prediksi Minho salah, yang terjadi malah ia mendapati ketiga adiknya berjalan pelan menghampirinya sambil berbisik-bisik, tidak menghiraukan kehadirannya sama sekali. Ketiganya seperti sedang membicarakan sesuatu yang sangat serius, entah apa itu.
"Pokoknya, diam saja!" seru Hyunjin.
Sedetik kemudian Felix ikut menimpali, "Iya, Jisungie jangan buat masalah, ini urusan hidup dan mati!"
Urusan hidup dan mati? Ada apalagi ini. Minho menaikkan satu alisnya, "Serius sekali. Membicarakan apa, sih?" tanyanya heran.
Ketiganya langsung mendongak menatap si kakak. Hyunjin dan Felix hanya menggeleng sambil menampilkan wajah ragu-ragu—seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Jisung barangkali hendak membalas, ia membuka mulutnya namun Hyunjin dengan sigap langsung membekap mulutnya, "Tidak ada! Ini urusan para Ovenger, Kak Ino tidak perlu tahu!" tukasnya.
Minho tidak ambil pusing, ia pun hanya mengangguk mengiyakan sambil berjalan menuntun ketiganya menuju mobil untuk pulang. Mungkin hanya sekedar konversasi aneh mengenai alien, pikirnya. Tidak ada yang mencurigakan. Apalagi begitu tiba di rumah dan membuka pintu, Seungmin dan Jeongin yang sudah pulang lebih dahulu dari ketiganya langsung menyambut, berteriak girang pada kakak-kakaknya, "Hyunjinnie, Jisungie, Lixie! Lihat! Kak Abin sudah pulang, lho!"
Iris ketiganya melebar saat mereka memalingkan pandangannya pada kakaknya yang sedang duduk di sofa. Kemudian buntalan-buntalan itu langsung berlari menghampiri dan saling berebut ingin memeluk Changbin, "Yeeey— Kak Abin pulang! Kak Abin pulang!"
Changbin sedikit terkejut begitu mendengar teriakan membahana adik-adiknya. Ia menghela napas, baru saja pulang sudah disiksa begini. Malah sekitar sepuluh menit yang lalu, rasanya jiwa pemuda itu hilang seketika dari tubuhnya begitu mendapat pertanyaan yang polos nan membingungkan dari adik paling kecilnya.
Changbin yang baru saja pulang dari berkemah—baru saja selesai mandi langsung dikejutkan dengan Innie yang berusaha masuk ke dalam handuknya sambil berteriak, bertanya dengan polosnya, "Kak Abin! Milik Kak Abin namanya apa? Innie ingin lihat! Kalau milik Innie gajah! Keren, 'kan?"
Astaga, Apa-apaan?
Untungnya Chan langsung datang dan menggendong Innie tepat sebelum bocah tersebut berhasil menyelundup masuk ke dalam handuknya saat itu. Si kakak bahkan tidak terlihat terkejut dengan pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh rubah kecil tersebut. Berbeda dengan dirinya sendiri yang hanya bisa diam melongo.
Changbin menatap tidak percaya, apa yang sudah terjadi selama dirinya pergi berkemah?
Tapi, toh, pada akhirnya ia tetap saja tertawa geli sambil balas mencium satu persatu pipi kelima adiknya. Kemudian ia menggendong Innie ke pangkuannya, "Rindu kakak, tidak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Skijeu Family
FanfictionMenjadi kakak itu luar biasa berat. Namun bahkan sebelum Chan, Minho, ataupun Changbin yakin kalau mereka akan menjadi kakak yang baik, Tuhan tahu-tahu sudah mengirimkan lima malaikat kecil untuk mereka. Ah, tunggu- malaikat... atau malah sebaliknya...