Senja mulai turun di kantor SMP Cemerlang, hanya tinggal Ivy dan Fadli yang masih bertahan di ruang guru. Mereka sibuk membahas rencana pembelajaran untuk minggu berikutnya, namun perhatian Fadli sesungguhnya tersita oleh kehadiran Ivy yang duduk di sampingnya. Setiap gerak Ivy, setiap kali ia menundukkan kepala untuk membaca catatan, membuat hati Fadli semakin terpikat. Ia tahu perasaannya pada Ivy lebih dari sekadar rekan kerja; ada ketertarikan yang tumbuh seiring waktu.
Di tengah diskusi yang berjalan hangat, tiba-tiba ponsel Ivy bergetar. Ivy memandang layar ponselnya dengan wajah yang awalnya biasa, namun seketika berubah pucat setelah membaca isi pesan yang masuk. Fadli menyadari perubahan ekspresi Ivy.
“Ivy, ada apa?” tanya Fadli dengan nada khawatir.
Ivy hanya menggeleng pelan tanpa berkata apa-apa. Tangan Ivy gemetar, matanya sedikit berair. Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Fadli berkata lembut, “Boleh aku lihat pesan itu?”
Ivy ragu sejenak, namun akhirnya menyerahkan ponselnya dengan anggukan pelan. Fadli membaca beberapa pesan yang tampil di layar—pesan dari Roman. Kalimat-kalimat itu membuat dada Fadli terasa panas, amarah menggelegak melihat isi pesan kasar dan penuh ancaman:
"Kamu tidak bisa menghindariku selamanya."
"Jalang, jangan coba-coba bersembunyi dariku."
"Kau milikku, jangan pernah lupa itu."
Dengan rahang yang mengeras, Fadli mengangkat wajahnya, memandang Ivy yang kini terlihat menahan air mata. Beruntung, suasana kantor sudah sepi, hanya tinggal mereka berdua. Fadli menggeser kursinya lebih dekat, lalu tanpa berkata apa-apa, ia merengkuh Ivy ke dalam pelukannya. Ivy terkejut, namun perasaan hangat dan nyaman menyelimuti dirinya, mengalahkan rasa takut yang tadi membayang.
“Menangislah, Ivy,” bisik Fadli lembut.
Seolah tak mampu lagi membendung perasaannya, air mata Ivy mengalir deras, mencurahkan segala kepedihan dan ketakutan yang selama ini ia simpan sendiri. Fadli mengusap lembut rambutnya, memberi kenyamanan di tengah gejolak emosi Ivy. Saat Ivy akhirnya merasa lebih tenang, ia mengangkat wajahnya sedikit, menatap Fadli dengan tatapan yang penuh luka.
“Fadli,” suaranya bergetar, “aku ingin menceritakan sesuatu. Apakah kau mau mendengarkannya?”
Fadli yang sesungguhnya sudah mengetahui kisah Ivy dari Yale, sahabat Ivy, dan Mia, rekan kerja yang juga teman dekat Ivy, tetap tersenyum sabar. Ia tahu pentingnya membiarkan Ivy bercerita langsung, mengungkapkan beban yang mungkin tak pernah bisa ia ceritakan dengan bebas.
“Silakan, Ivy. Aku di sini untuk mendengarkan,” jawab Fadli sambil tetap menatap Ivy dengan penuh perhatian.
Ivy menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengingat kembali kenangan-kenangan pahit yang selama ini ia pendam. “Aku… pernah berpacaran dengan seorang pria bernama Axel ketika SMA. Kami baik-baik saja, hanya saja… jarak memisahkan kami, dan itu menjadi tantangan tersendiri. Saat itu, Axel bersekolah di tempat lain.”
Ivy menghela napas, mencoba menenangkan debar di dadanya yang muncul akibat kenangan pahit itu. “Hubungan kami berakhir karena aku bertemu dengan Roman… pria yang akhirnya banyak menyakiti dan menghancurkan hidupku. Aku mulai dekat dengannya di organisasi yang sama, dan Roman memberiku perhatian yang tidak bisa Axel berikan karena jarak. Malam setelah aku putus dengan Axel, aku menjalin hubungan dengan Roman.”
Fadli tetap diam, namun tangannya refleks membelai rambut Ivy dengan lembut, memberinya rasa aman yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ivy melanjutkan, “Hubungan kami berjalan cukup baik, sampai akhirnya aku tahu bahwa selama bersamaku, Roman masih sering bersama mantan pacarnya, Clara. Bahkan… mereka sudah berkali-kali tidur bersama. Aku hanyalah pelarian bagi Roman.”
Mendengar kisah itu, Fadli meletakkan kepala Ivy di dadanya, membiarkan Ivy mendengar detak jantungnya, berharap detak itu bisa memberi ketenangan bagi hati Ivy yang terluka.
“Aku bodoh… tetap memaafkan Roman,” Ivy berbisik sambil menghapus air matanya yang kembali jatuh. “Sampai akhirnya, Roman diterima berkuliah di luar kota, dan hubungan kami mulai renggang. Dengan alasan ingin fokus pada studinya, Roman memutuskan hubungan kami. Beberapa minggu kemudian, aku mendengar dia sudah bersama wanita lain di kampusnya.”
Fadli mengusap punggung Ivy, memberinya kehangatan yang ia tahu sangat Ivy butuhkan. Dalam hati, ia menyadari betapa sakitnya masa lalu yang Ivy alami. Fadli hanya bisa mengutuk Roman dalam diam, berharap agar pria itu tak lagi mengganggu hidup Ivy.
Setelah beberapa saat terdiam, Ivy melanjutkan ceritanya, “Setelah Roman, aku bertemu Yale. Aku berpikir Yale adalah harapan baru untuk kebahagiaanku, tapi ternyata, aku kembali dihancurkan. Yale… dia juga mengkhianatiku dengan Iris, teman kami sendiri.”
Fadli mendengarkan dengan seksama, tahu bahwa Yale pernah menyesal atas kesalahan masa lalunya terhadap Ivy. Namun, mendengar langsung kisah ini dari Ivy membuatnya merasakan luka yang Ivy alami.
“Saat itu, aku masih sangat mencintai Yale, meski kami akhirnya memutuskan untuk tetap bersahabat. Tapi setiap kali dia dekat dengan perempuan lain, seperti Selena… hatiku terasa perih. Aku tahu aku tak seharusnya ikut campur, namun rasa itu terlalu kuat,” Ivy berbisik, penuh penyesalan.
Butuh waktu lama bagi Ivy untuk meredam perasaan itu, dan Fadli tahu betapa Ivy masih menyimpan sedikit rasa sakit setiap kali mengingat Yale. Namun, kisah Ivy tidak berhenti di sana. Dengan suara yang semakin lemah, Ivy melanjutkan, “Bodohnya, aku kembali berhubungan dengan Roman. Padahal aku tahu ia sudah menikah dan memiliki anak. Pada akhirnya, aku sadar dan memutuskan hubungan itu. Tapi Roman tak terima dan mulai menerorku.”
Mendengar itu, Fadli semakin mengeratkan pelukannya. Rasa sakit dan ketakutan Ivy terasa nyata baginya. Fadli hanya bisa merutuki dirinya yang tak bisa melakukan lebih banyak untuk melindungi Ivy di masa lalu.
Ivy melanjutkan, “Saat itu, Roman bahkan menyebarkan gosip buruk tentangku di sekolah ini. Banyak rekan kerja yang mempercayai gosip itu dan menjauhiku. Hanya Mia yang bertahan, yang tetap bersamaku ketika semua orang menjauh.”
Fadli merasa pedih mendengar bahwa Ivy mengalami itu semua sendirian. Ia mengusap air mata Ivy yang jatuh, lalu menatap wajah Ivy dalam-dalam. Ia menyadari bahwa perasaan hangat dan kasih sayang yang ia miliki semakin kuat seiring mendengar kisah Ivy.
“Fadli, maaf kalau cerita ini mengganggumu. Aku hanya… merasa nyaman berbicara denganmu,” Ivy berkata dengan lirih, menundukkan kepala seolah merasa bersalah.
Fadli melepaskan pelukannya, kemudian menggenggam kedua tangan Ivy dengan lembut. Ia menatap Ivy dalam-dalam, mencoba menunjukkan bahwa ia benar-benar peduli. “Ivy, aku tidak masalah mendengar cerita ini. Aku senang kamu percaya padaku, dan jika kamu ingin berbagi apa pun, aku selalu ada di sini untukmu.”
Ivy terdiam, matanya mencari kejujuran di balik tatapan Fadli. Seolah ingin memastikan bahwa Fadli benar-benar peduli, bahwa tak ada kebohongan atau niat terselubung di balik perhatian pria di hadapannya ini.
“Fadli, apa kamu yakin? Aku sudah terlalu sering menjadi sasaran gosip buruk,” Ivy berkata dengan nada ragu.
Fadli mengangguk tegas. “Aku tidak peduli, Ivy. Pendapat orang lain tak ada artinya bagiku. Aku hanya peduli padamu.”
Ucapan Fadli begitu tulus hingga membuat Ivy tak bisa menahan diri. Tanpa berkata apa-apa, Ivy merasakan kehangatan yang berbeda dari Fadli. Dalam keheningan itu, Fadli mendekatkan wajahnya dan mengecup kening Ivy dengan lembut, menyampaikan perasaannya melalui sentuhan penuh kehangatan.
Ivy terkejut, tapi entah mengapa ia merasa nyaman. Ketika Fadli kembali meraih Ivy ke dalam pelukannya, Ivy menutup matanya dan menikmati kehangatan yang ia rasakan. Di dalam pelukan Fadli, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Ivy merasa aman dan terlindungi.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVERB
General Fiction"REVERB" adalah kisah tentang perjuangan, dukungan, dan menemukan cinta dalam diri sendiri dan orang-orang terkasih.