Obsesi Tanpa Akhir

15 0 0
                                    

Roman menyaksikan dari kejauhan, sembari melihat Ivy yang tampak tenang ketika Fadli, Yale, atau Eryk bergantian menjemputnya. Perasaan cemburu dan kemarahan yang sudah lama ia pendam kian membakar ketika melihat Ivy tersenyum samar setiap kali salah satu dari mereka tiba di gerbang sekolah. Ada rasa puas di wajah Ivy, seolah kehadiran mereka mampu membungkus ketakutannya.

Rasa muak membanjiri hati Roman setiap kali Fadli menunjukkan perhatian pada Ivy di depan umum. Roman tahu bahwa Fadli telah mengutarakan perasaannya pada Ivy, dan itu membuat Roman semakin ingin merebut Ivy kembali—miliknya, satu-satunya miliknya. Bagi Roman, Ivy tak mungkin benar-benar membuka diri pada lelaki seperti Fadli. Fadli hanya mimpi kosong yang Ivy coba ciptakan di atas kenangan mereka berdua. Itu yang Roman percayai. Ia ingin Ivy kembali merasa bahwa dia, Roman, adalah satu-satunya pria yang pantas mengisi hidup Ivy. Tak ada yang bisa memisahkan mereka.

Pagi itu, Roman tahu betul bahwa Fadli tengah sibuk di ruang tata usaha, menyelesaikan pekerjaannya, sementara Ivy duduk menunggu di ruang guru. Inilah waktunya, pikir Roman. Dia merapikan pakaiannya dan melangkah tenang menuju ruang guru. Keheningan ruang itu hanya menyisakan Ivy, yang tampak sibuk mengalihkan pikiran, tak menyadari kehadirannya hingga langkahnya terdengar mendekat.

Saat Ivy mengangkat wajah, Roman bisa melihat perubahan di matanya. Tatapan Ivy seketika memancarkan ketakutan yang begitu dalam, senyum dingin Roman semakin lebar. Ketakutan Ivy itu menjadi penanda bahwa Ivy tak pernah benar-benar bisa lari darinya. “Ivy, ayo kita bicara,” ujarnya dengan nada tenang yang ia tahu akan menggugah ketakutan Ivy.

Ivy seolah membeku, namun Roman tak peduli. Dalam hitungan detik, ia melangkah cepat, menggenggam pergelangan tangan Ivy dengan kuat. Ivy meronta, mencoba melarikan diri, tetapi Roman tak peduli. Dia lebih kuat, lebih bertekad, lebih dari siap untuk membawa Ivy pergi dari semua pengaruh lelaki yang berusaha merebut Ivy darinya.

Roman membawa Ivy ke arah parkiran. Ketika Ivy meronta, ia menguatkan cengkeramannya, tak peduli akan bisikan ketakutan Ivy. Semakin kuat Ivy mencoba melepaskan diri, semakin dalam rasa senangnya. Roman tidak peduli pada apapun lagi, karena bagi Roman, Ivy adalah miliknya—hanya miliknya.

Saat itu Roman melihat sosok Fadli yang berlari dari kejauhan, namun Roman bergerak lebih cepat, mendorong Ivy ke dalam mobil dan menutup pintu dengan sekali hentakan. Melaju menjauh, ia menatap Ivy yang ketakutan dengan perasaan puas. Jeritan Ivy di dalam mobil hanyalah musik di telinganya, suara manis yang menandakan bahwa ia masih memiliki kendali atas Ivy.

"Apa yang kamu inginkan, Roman? Kenapa kamu lakukan ini?" Ivy berteriak, nada ketakutannya semakin menyenangkan Roman.

Roman tidak bergeming. Ia hanya menatap lurus ke depan, mengemudi cepat menuju tujuannya. Roman tidak memerlukan penjelasan, apalagi persetujuan dari Ivy. Ivy hanya perlu mengingat bahwa dirinya adalah bagian dari Roman. Itu cukup.

---

Saat Ivy terbangun di kamarnya, Roman berdiri di pintu, melihat ke arah Ivy yang tampak ketakutan dan bingung. Ia berjalan mendekat, menyeringai kecil saat melihat Ivy yang terikat. Dia berdiri di samping tempat tidur, tatapannya mengintimidasi, tangan dinginnya mengelus pipi Ivy. Roman bisa merasakan Ivy gemetar di bawah sentuhannya, dan itu semakin menambah perasaan puas di hatinya.

"Aku sudah kehilangan segalanya," Roman memulai dengan nada dingin. "Istriku pergi, anakku tak lagi ada di sampingku, orangtuaku juga tak peduli padaku. Tapi kamu… kamu masih di sini, Ivy."

Roman menatap Ivy yang berusaha memalingkan wajahnya, menghindari tatapannya. Seringainya semakin melebar. "Aku akan memiliki kamu lagi, Ivy. Kali ini tak akan ada yang bisa menghalangi kita. Kamu tak perlu takut lagi, karena kamu punya aku. Kamu milikku, Ivy. Dan aku akan membuatmu merasakan itu lagi."

Tanpa ragu, Roman menunduk, mencium Ivy yang terbungkam oleh lakban di bibirnya. Ivy mencoba meronta, berusaha melepaskan diri dari ciuman itu, namun usahanya sia-sia. Roman bisa merasakan Ivy gemetar di bawah cengkeramannya, perasaan takut dan benci yang terpancar dari matanya semakin membuat Roman merasa memiliki kendali penuh atas Ivy. Bagi Roman, itu adalah momen kemenangan yang manis, bukti bahwa Ivy tak pernah benar-benar bebas dari dirinya.

Setelah puas, Roman berdiri dan menatap Ivy dengan senyum dingin. “Istirahatlah,” ucapnya sebelum mematikan lampu kamar. "Kita punya banyak waktu untuk menghabiskan ini bersama."

Roman meninggalkan Ivy dalam kegelapan yang sunyi, menutup pintu dan meninggalkan Ivy dengan ketakutan yang akan terus menghantuinya sepanjang malam. Bagi Roman, ini adalah bukti bahwa Ivy memang terlahir untuk bersamanya, tak peduli siapa yang mencoba mengambilnya. Roman tahu bahwa apa yang telah dimulai hari ini hanyalah awal dari apa yang akan menjadi kisah mereka kembali bersama, dan Ivy akan belajar menerima itu.

REVERBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang