Langit sore mulai berpendar keemasan saat Yale menghabiskan waktunya dengan kamera di tangan, sibuk mengabadikan momen. Baginya, dunia tampak sempurna dalam lensa kamera, seolah semua yang terekam adalah kepingan kehidupan yang bebas dari luka dan rahasia kelam. Namun, konsentrasinya buyar saat suara mengejek yang amat dikenalnya terdengar dari belakang.
“Widiih… Ada yang sok jadi fotografer profesional di sini,” suara itu menghantam telinga Yale dengan nada yang tak asing. Tubuhnya menegang seketika. Roman.
Yale menurunkan kameranya dan berbalik menghadap Roman. Pria itu berdiri dengan seringai di wajah, tampak menikmati ketidaknyamanan Yale. Matanya penuh dengan pandangan yang menyiratkan obsesi yang kejam.
"Apa maumu, Roman?" tanya Yale, berusaha keras menjaga ketenangannya meskipun hatinya mendidih. Tatapannya tajam, mencoba menyelami niat Roman di balik ekspresi mengejeknya.
Roman melangkah lebih dekat, sorot matanya semakin menyeramkan. “Gue cuma mau ngingetin lo, berhenti pura-pura jadi sahabat baik di depan Ivy. Gue tahu siapa lo sebenarnya, Yale. Pikir lo gue nggak tahu masa lalu lo?” ucap Roman dengan nada yang sengaja dibuat rendah, membuat Yale merasakan jantungnya berdetak cepat.
Perkataannya menghantam Yale dengan keras. Yale berusaha menahan amarahnya, tetapi emosi mulai menggelegak dalam dirinya. "Masa lalu? Lo gak tahu apa-apa, Roman,” balas Yale, mencoba menjaga nada bicara tetap dingin.
Roman tertawa kecil, melanjutkan kata-katanya. “Oh, gue tahu lebih banyak dari yang lo kira. Pertama, lo mantan atlet basket yang akhirnya terpaksa berhenti main karena cedera. Cedera di kaki lo itu, kan?” Roman berkata seakan mengenang sesuatu yang pahit, meskipun Yale tak pernah menceritakan itu kepada siapa pun.
Roman tersenyum licik, menyebutkan satu per satu luka lama Yale. “Gue tahu lo dan Ivy pernah pacaran. Tapi lo selingkuh dari dia. Ivy tuh bodoh banget, bisa-bisanya maafin lo padahal lo udah banyak nyakitin dia.” Roman menyeringai puas, matanya menyala penuh kebencian. “Veda, Lena, Ava, dan Iris. Lo deketin mereka pas lo sama Ivy, kan? Ivy yang sabar-sabar aja sama lo.”
Yale menggenggam kamera di tangannya dengan kuat, menahan amarah yang hampir meledak. Setiap nama yang Roman sebutkan adalah kenyataan yang selama ini ia coba lupakan. Dan yang paling menyakitkan adalah ketika Roman menyebut nama Iris. Itu adalah hubungan yang paling disesalinya, cinta yang salah yang pada akhirnya menyakiti Ivy begitu dalam. Semua kesalahan itu melintas dalam ingatan, terutama malam kelam saat ia bertengkar hebat dengan Ivy, saat emosinya meledak, dan Ivy terluka karena tindakannya.
Roman terus melanjutkan serangannya. “Lo dulu lebih milih ngebela Selena di depan Ivy. Padahal Ivy nggak pernah minta yang aneh-aneh dari lo. Dia tuh terlalu bodoh buat terus percaya sama lo.” Roman tertawa kecil, menikmati setiap kata yang ia lontarkan. “Gue nggak serakus lo, Yale. Gue cuma selingkuh sekali sama Clara. Dan itu pun kita udah lama putus waktu gue sama Ivy. Tapi lo, bisa-bisanya deket sama banyak perempuan saat lo sama Ivy. Ivy tuh terlalu baik buat lo.”
Yale gemetar, antara rasa bersalah dan amarah yang tak tertahankan. Malam itu kembali menghantui pikirannya—malam saat ia menyakiti Ivy karena amarahnya, malam yang tak pernah ia ceritakan kepada siapa pun. Hanya Ivy yang tahu. Jadi, bagaimana Roman bisa mengetahuinya?
Roman mendekatkan wajahnya ke arah Yale, melanjutkan ejekannya. “Oh, sekarang lo punya istri, kan? Jovanna, dan anak perempuan lo, Yena. Lucu sekali, lo masih sibuk-sibuk peduli sama Ivy, padahal lo udah punya keluarga sendiri.”
Yale membelalak, terkejut bukan hanya karena Roman tahu tentang keluarganya, tapi juga karena cara Roman mengatakannya seolah keluarganya adalah mainan yang mudah dihancurkan. Sesuatu yang menakutkan menjalar dalam dirinya—bagaimana Roman bisa tahu semua ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
REVERB
General Fiction"REVERB" adalah kisah tentang perjuangan, dukungan, dan menemukan cinta dalam diri sendiri dan orang-orang terkasih.