Sejak Fadli, Yale, atau Eryk mulai bergantian menjemput Ivy setelah mengajar, Ivy merasakan sedikit ketenangan di tengah hiruk-pikuk rasa takut yang tak pernah hilang sepenuhnya. Setiap kali salah satu dari mereka muncul di gerbang sekolah, ada perasaan aman yang perlahan tumbuh dalam hatinya, meski rasa tak enak tetap menyelinap setiap kali ia menerima perlindungan mereka. Terutama Fadli, yang meskipun belum lama dikenalnya, selalu bersikeras menjaga Ivy dengan penuh ketulusan. Pengakuan cinta Fadli yang datang begitu tulus kadang membuat Ivy tak tahu harus bagaimana; trauma akibat Roman terus menghantuinya, menghalangi dirinya untuk benar-benar membuka hati. Namun, setiap kali Fadli hadir, ada ketenangan yang menyelimuti—sebuah rasa aman yang tak bisa ia jelaskan.
Sore itu, Fadli menawarkan untuk mengantar Ivy pulang. "Tunggu sebentar di ruang guru, ya. Aku harus menyelesaikan pekerjaan di ruang tata usaha dulu," ujarnya sambil tersenyum tipis sebelum berlalu.
Ivy mengangguk pelan, duduk di ruang guru sambil menunggu, mencoba mengalihkan pikirannya dari ketakutan yang masih kerap menghantui. Pandangannya menerawang ke luar jendela, teringat kembali momen ketika Fadli, dengan berani, mengungkapkan perasaannya di depan para rekan kerja mereka, membuat Ivy tertegun tak percaya. Ivy menyadari bahwa meski teror Roman terus mengintai, kehadiran Fadli dan ketulusannya menjadi tameng yang membentengi dirinya dari mimpi buruk itu.
Namun, saat Ivy mencoba menikmati ketenangan sesaat, langkah kaki berat terdengar mendekat. Suara itu terasa begitu tak asing di telinganya. Ivy menoleh ke arah pintu, dan jantungnya seketika berhenti berdetak. Roman berdiri di sana, tatapannya liar, penuh obsesi yang mengerikan. Sebuah senyum dingin tersungging di wajahnya, merobek ketenangan yang susah payah Ivy bangun.
"Ivy, ayo kita bicara," ucap Roman, suaranya datar namun ada ancaman yang jelas di balik kata-kata itu.
Dalam sekejap, rasa takut kembali menguasai Ivy. Tubuhnya terasa dingin dan kaku, seperti tenggelam dalam teror yang tak bisa ia kendalikan. "Tidak! Roman, jangan!" Ivy berteriak, suaranya pecah oleh ketakutan. Namun, Roman tak peduli. Dengan langkah cepat, ia mendekat dan menangkap pergelangan tangan Ivy, cengkeramannya begitu kuat dan kasar.
Ivy meronta, berusaha melarikan diri, namun tenaga Roman terlalu besar. Dia menyeret Ivy keluar dari ruang guru, sementara Ivy terus berteriak minta tolong. Namun, koridor sekolah terasa begitu sepi, seperti semua orang mendadak lenyap. Hanya ada Ivy dan Roman, dan tatapan liar yang semakin tak terkendali dari pria itu.
Roman membawa Ivy ke arah parkiran. Ivy sempat melihat Fadli berlari dari kejauhan, tampak berusaha mengejar. Namun, Roman bergerak lebih cepat, mendorong Ivy ke dalam mobil dan menutup pintu dengan kasar. Ivy melihat Fadli yang berteriak, tatapannya penuh kekhawatiran, namun mobil melaju kencang, meninggalkan Fadli di belakang.
Dalam perjalanan, Ivy mencoba membuka pintu, tetapi terkunci rapat. "Roman, hentikan! Lepaskan aku! Roman, tolong!" Ivy berteriak, suaranya penuh ketakutan dan rasa putus asa. Namun, Roman tidak bergeming. Ia fokus menatap jalan, tak menghiraukan jeritan Ivy. Wajahnya tampak dingin dan tak tersentuh oleh emosi, seakan Ivy bukanlah seseorang yang ia cintai, melainkan sesuatu yang ingin ia kuasai.
Tiba-tiba, tanpa peringatan, Roman mengayunkan tangannya ke arah leher belakang Ivy. Rasa sakit menyengat langsung menjalar, membuat Ivy kehilangan kendali atas tubuhnya. Dunia seketika berputar di sekelilingnya, dan dalam hitungan detik, pandangannya berubah menjadi gelap.
---
Ketika Ivy terbangun, kepalanya terasa berat dan sakit. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, tetapi kedua tangan dan kakinya terikat erat pada tiang tempat tidur. Ivy merasa panik saat menyadari ruangan ini—kamar Roman. Kamar yang dulunya penuh kenangan, kini berubah menjadi ruang yang menakutkan dan mencekam. Ivy mencoba meronta, namun tali yang membelenggunya terlalu kuat. Mulutnya tertutup lakban tebal, membungkam setiap jeritan yang ingin ia keluarkan.
Ruangan itu hening, hanya diterangi cahaya redup dari luar jendela. Ivy berusaha menenangkan napasnya, mencoba mencari jalan keluar meski ketakutan membekukan seluruh tubuhnya. Namun, tak lama kemudian, suara langkah pelan terdengar, dan lampu kamar menyala. Ivy menutup matanya sesaat, silau dengan cahaya yang tiba-tiba.
Roman berdiri di ambang pintu, wajahnya tersenyum sinis, seringainya semakin mendalam saat melihat Ivy terikat di atas tempat tidur. Ia berjalan mendekat, tatapannya dingin dan penuh obsesi yang mengerikan. Ivy berusaha menjauh, tetapi tali yang mengikatnya tak memberinya ruang.
"Ivy," bisik Roman dengan nada yang rendah. Ia duduk di tepi tempat tidur, mengulurkan tangan, jari-jarinya yang dingin mengusap pipi Ivy dengan lembut. Ivy menoleh, mencoba menghindari sentuhan Roman, namun sia-sia.
Roman berbicara dengan suara yang datar dan tanpa emosi. "Aku sudah kehilangan segalanya. Istriku pergi, membawaku anakku. Orangtuaku juga sudah tidak ada." Roman berhenti sejenak, tatapannya semakin gelap dan dalam. "Tapi kamu… kamu masih di sini. Dan kau akan tetap di sini bersamaku."
Ivy menahan air matanya, tak ingin terlihat rapuh di hadapan Roman. Dia berusaha memalingkan wajah, namun Roman menariknya kembali, memaksa Ivy untuk menatap matanya. Tanpa peringatan, Roman mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Ivy yang tertutup lakban. Ivy meronta dengan putus asa, namun usahanya sia-sia. Rasa jijik, takut, dan marah bercampur menjadi satu, memenuhi pikirannya.
Roman akhirnya melepaskan ciumannya dengan senyum puas di wajahnya. Ia menatap Ivy yang ketakutan dan tak berdaya dengan senyum dingin, kemudian mengecup keningnya dengan perlahan sebelum berdiri. "Istirahatlah," ucapnya sebelum berjalan ke arah pintu. "Kita punya banyak waktu bersama."
Roman mematikan lampu, membiarkan Ivy terkurung dalam gelap yang sepi. Ivy terisak dalam keheningan, mencoba menahan ketakutannya yang semakin dalam. Tali yang mengikat pergelangan tangan dan kakinya semakin menyakitkan, namun ia terus berusaha melepaskan diri meski tahu bahwa tali itu terlalu kuat.
Air mata mengalir dari sudut matanya, membasahi pipinya yang dingin. Dalam gelap, Ivy merasa seolah-olah tak ada harapan. Ia ingin berteriak, memohon bantuan, tetapi hanya keheningan yang menyelimutinya. Detik-detik berlalu dengan lambat, rasa takut dan keputusasaan semakin menghimpit, membuatnya merasa seperti tenggelam dalam lautan gelap yang tak berujung.
Di tengah ketakutan yang memuncak, Ivy mencoba mengingat wajah-wajah orang-orang yang telah menjadi pelindungnya akhir-akhir ini. Eryk, adiknya yang selalu memberikan kehangatan meski dalam diam. Yale, sahabat lama yang telah berulang kali berusaha melindunginya. Dan Fadli, pria yang dengan tulus menawarkan cintanya, yang rela menjadi perisai di tengah segala ancaman Roman. Ivy memejamkan mata, mencoba menggenggam kekuatan dari kenangan itu, berharap seseorang akan datang menyelamatkannya.
Namun, di dalam kamar yang tertutup rapat itu, Ivy hanya bisa berharap, berdoa dalam hati agar semuanya segera berakhir. Di balik semua ketakutan dan luka yang ia rasakan, Ivy tahu bahwa ia harus bertahan, meski ketakutan dan kegelapan terus menyelimutinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVERB
General Fiction"REVERB" adalah kisah tentang perjuangan, dukungan, dan menemukan cinta dalam diri sendiri dan orang-orang terkasih.