Luka yang Tak Pernah Sembuh

8 0 0
                                    

Hari-hari berlalu setelah insiden Roman di sekolah. Ada perubahan kecil yang mulai Ivy rasakan dari sekelilingnya. Para rekan guru yang biasanya menjaga jarak karena terpengaruh gosip murahan dari Roman, kini mulai menunjukkan sikap berbeda. Beberapa kali mereka melempar senyum atau menegur Ivy dengan sapaan ringan, sesuatu yang dulu jarang sekali terjadi. Ivy membalas dengan senyum kecil, berusaha menyembunyikan rasa harunya. Perubahan kecil ini berarti besar baginya, seolah memberikan sedikit harapan di tengah beban yang masih menggelayuti hatinya.

Saat Ivy masuk ke kelas, para murid perempuan tiba-tiba menyambutnya dengan pelukan erat. Ivy terkejut, tak menyangka akan disambut dengan begitu hangat.

"Kenapa kalian, Nak?" tanyanya pelan, mencoba mengendalikan getaran suaranya.

Sica, salah satu muridnya, menatap Ivy dengan mata penuh kasih. "Bu Ivy, kami sayang Ibu," katanya dengan suara lembut. Sara, siswi lainnya, menambahkan, "Ibu jangan merasa sendiri, ya. Kami selalu mendukung Ibu."

Ivy berusaha menahan tangis haru. Kehangatan dari siswa-siswanya adalah pelipur lara yang begitu ia butuhkan. Dukungan tulus dari mereka membuatnya merasa lebih kuat untuk menghadapi hari-hari yang semakin sulit.

Setiap kali Ivy bertemu Fadli di lorong atau ruang guru, lelaki itu selalu menyapa dengan senyum kecil. Bahkan, saat Ivy tiba di mejanya yang berada di samping meja Fadli, lelaki itu akan menyapa lebih dulu. "Hai, Ivy," sapanya hangat.

Ivy merasa bersyukur. Meski Fadli pernah mengungkapkan perasaan padanya, ia tidak pernah memaksa atau menuntut jawaban dari Ivy. Kehadiran Fadli selalu hangat dan mendukung, seolah Fadli memahami bahwa Ivy masih membutuhkan waktu.

Namun, meski hari-hari berjalan, kecemasan dan rasa panik justru semakin sering menghantui Ivy. Rasa mual sering datang tanpa alasan yang jelas, membuatnya berlari ke toilet sekolah untuk muntah. Bukan sakit fisik yang ia rasakan, tapi lebih kepada tekanan mental yang semakin menumpuk dan menggerogoti kekuatannya. Setiap kali ia kembali dari toilet dengan wajah pucat, Fadli yang duduk di meja sebelah hanya mengulurkan segelas air putih tanpa berkata-kata.

"Minumlah, Ivy," katanya pelan, memberikan air putih sambil menatapnya dengan penuh perhatian.

"Terima kasih, Fadli," jawab Ivy dengan suara pelan, mencoba menguasai dirinya.

Tetapi ketenangan itu tak pernah bertahan lama. Setiap pesan baru dari Roman, entah melalui akun anonim atau nomor tak dikenal, selalu datang seperti duri tajam yang menusuk batinnya. "Kamu tidak bisa lari dariku," ancaman Roman terus menghantuinya, seolah-olah kehadiran Roman tak akan pernah pergi dari hidupnya. Ivy mencoba memblokir kontak Roman berkali-kali, namun lelaki itu selalu menemukan cara untuk menghubunginya kembali, menghancurkan ketenangan yang susah payah ia bangun.

Fadli, yang selalu memperhatikan Ivy, menyadari setiap perubahan di wajahnya setiap kali Ivy memegang ponselnya. Tanpa perlu bertanya, ia tahu Roman kembali mengganggu Ivy. Fadli mencoba membantu Ivy dengan memblokir kontak Roman, dan setiap kali Ivy terlihat tertekan, Fadli akan mengelus punggungnya dengan lembut, memberinya rasa nyaman tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Meski hatinya tersayat melihat Ivy menderita, Fadli merasa kagum pada ketenangan yang Ivy pertahankan.

---

Di rumah, Ivy berusaha keras menyembunyikan semua rasa sakit dan ketakutannya dari kedua orang tuanya, Indira dan Haris. Mereka sudah cukup lelah dengan pekerjaan dan urusan mereka sendiri, dan Ivy tidak ingin menambah beban pikiran mereka dengan masalahnya. Setiap kali rasa panik menyerang, Ivy memilih untuk mengunci diri di kamar, menangis dalam kesunyian, menenggelamkan diri dalam kesedihan yang hanya ia sendiri yang tahu. Ia akan berbaring di tempat tidur, memeluk bantal erat-erat, berharap semua rasa takut itu akan hilang.

REVERBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang