Fadli duduk di dalam mobilnya yang berhenti di pinggir jalan. Tangannya gemetar ketika ia meraih ponselnya, mencoba menghubungi Yale. Jari-jarinya hampir tidak bisa menekan tombol dengan benar, dan hatinya terasa berat seolah ada sesuatu yang mengganjal, menyesakkan napasnya. Saat dering pertama terdengar, dia merasa begitu hampa, seolah-olah seluruh dunia telah berhenti.
"Halo, Fadli. Ada apa?" suara Yale terdengar santai di seberang, nada suaranya seperti biasa, tidak tahu betapa paniknya Fadli saat ini.
Fadli menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Namun, suaranya keluar dalam patahan yang berantakan, penuh kepanikan. "Roman... dia membawa Ivy... Gue... Gue terlambat," kata Fadli dengan napas yang terengah, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja ia sampaikan. Rasa bersalahnya semakin menyesakkan dada, membuatnya sulit bernapas.
Keheningan di seberang telepon menimbulkan kecemasan yang lebih mendalam pada Fadli. Yale tak langsung merespons, dan Fadli bisa membayangkan bagaimana rasa cemas dan marah mulai meluap di dada sahabat Ivy itu. Tak lama, suara Yale yang penuh amarah pecah.
"Apa?! Sialan! Roman membawa Ivy? Kenapa Lo bisa biarkan itu terjadi?! Dimana Lo saat Ivy butuh bantuan?!" teriak Yale dengan kemarahan yang tak tertahankan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya bagaikan cambuk yang menghantam perasaan bersalah Fadli tanpa ampun.
Fadli ingin menjelaskan, ingin mengatakan bahwa ia sudah mencoba sekuat tenaga untuk melindungi Ivy, tetapi amarah Yale terus menguasai percakapan mereka, menenggelamkan suaranya yang semakin parau. "Ini semua salah gue... ini semua salah gue..." suara Yale menggema dalam kepala Fadli, menghantamkan beban rasa bersalah yang semakin dalam. Ia merasa begitu tak berguna, gagal menjalankan satu-satunya tugasnya-melindungi Ivy dari Roman.
Sebuah suara lembut tapi tegas tiba-tiba terdengar, mencoba meredam ketegangan. "Yale, tenang... kita harus tetap berpikir jernih." Itu suara Jovanna, istri Yale. Suaranya terdengar khawatir namun penuh ketenangan yang mencoba menahan Yale agar tidak kehilangan kendali. Fadli mendengar napas Yale yang semakin memburu di seberang telepon, dan setelah keheningan yang penuh ketegangan, Jovanna mengambil alih ponsel itu.
"Fadli," ucap Jovanna lembut namun serius, "kita akan menemukannya. Kita akan cari Ivy. Lo tidak sendirian." Kalimat itu adalah satu-satunya hal yang membuat Fadli merasa sedikit terangkat dari lubang ketakutan yang dalam. Meskipun begitu, perasaan kosong tetap menyelimutinya, dan kata-kata itu terdengar jauh di telinganya. Bagaimana mungkin ia bisa tenang ketika Ivy, orang yang paling berarti baginya, kini berada dalam cengkeraman Roman?
Mobilnya masih berhenti di pinggir jalan, dan Fadli duduk diam dengan pandangan kosong. Bayangan Ivy, ketakutannya, dan bagaimana Roman membawa Ivy dengan paksa terus menghantui pikirannya. Rasa bersalah yang begitu menyesakkan menghimpit dada, membuatnya sulit bernapas. Matanya berkaca-kaca, dan dia tidak tahu harus ke mana atau bagaimana memulainya. Yang dia tahu hanyalah satu hal: dia telah gagal melindungi Ivy, dan itu menghancurkan hatinya lebih dari apa pun yang pernah dia rasakan.
"Ivy... aku minta maaf," bisik Fadli, suaranya hampir tak terdengar. Tangannya mencengkeram erat kemudi hingga memutih, dan ia tahu satu-satunya hal yang harus ia lakukan sekarang adalah menemukan Ivy dan membawanya pulang dengan selamat, tak peduli apa pun risikonya. Namun, bayangan ketakutan itu tetap menghantui-bayangan bahwa ia mungkin terlambat, bahwa Ivy mungkin sudah terlalu jauh dari jangkauannya.
Dalam mobil yang sunyi itu, Fadli hanya bisa berdoa, memohon pada Tuhan atau siapa pun yang mendengar, agar ia diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan terburuk dalam hidupnya. Agar ia bisa menyelamatkan Ivy.
---
Sementara itu, di sisi lain kota, Yale sedang berada di studio fotonya, mencoba fokus pada pekerjaan yang sudah menumpuk. Memotret biasanya memberinya ketenangan; pekerjaan ini menuntutnya untuk memusatkan perhatian pada detail gambar, membiarkan cahaya dan bayangan membentuk dunianya sendiri. Namun, semua itu hancur saat ponselnya berdering dan nama Fadli muncul di layar. Dengan santai, Yale menjawab panggilan itu, berharap percakapan ringan.
"Halo, Fadli. Ada apa?" tanyanya dengan nada yang biasa.
Namun, yang terdengar di seberang sana adalah suara panik dan kacau dari Fadli. Napasnya tersengal, dan kata-kata yang keluar dari mulutnya terputus-putus, penuh teror. "Roman... dia membawa Ivy... Gue... Gue terlambat," kata Fadli dengan nada penuh ketakutan dan rasa bersalah.
Keheningan melingkupi Yale. Dunia seakan berhenti. Dadanya terasa sesak, dan untuk beberapa detik, dia tidak mampu bernapas. Rasa takut, marah, dan panik seketika bergemuruh dalam dirinya, menciptakan gumpalan emosi yang membuatnya sulit berpikir jernih. Lalu, seperti badai yang pecah, amarah Yale meledak.
"Apa?! Sialan! Roman membawa Ivy? Kenapa Lo bisa biarkan itu terjadi?! Di mana Lo saat Ivy butuh bantuan?!" teriak Yale, suaranya begitu keras hingga menarik perhatian beberapa orang di studio. Napasnya memburu, dan bayangan Ivy yang ketakutan karena Roman memaksanya pergi semakin membuat darahnya mendidih. Perasaan tak berdaya yang ia rasakan begitu nyata, menghantamnya dengan kekuatan yang tak terbayangkan.
"Ini semua salah gue... ini semua salah gue..." bisiknya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri, meski kata-kata Fadli yang penuh ketakutan terus menggerogoti pikirannya. Yale teringat pada malam-malam penuh teror ketika Roman pertama kali mengganggu hidup Ivy. Rasa takut dan penyesalan menyeruak di dalam dirinya, membangkitkan kenangan kelam yang telah lama ia pendam.
Yale hampir melanjutkan amarahnya, namun tiba-tiba tangan lembut menyentuh bahunya, menghentikannya. Itu Jovanna, yang entah sejak kapan sudah berada di sampingnya, menatapnya dengan penuh pengertian. Ia merasakan genggaman tangan Jovanna yang mencoba menenangkan, walaupun ia tahu betul bahwa Jovanna juga sama cemasnya.
Jovanna mengambil ponsel dari tangan Yale, yang masih gemetar. "Fadli," katanya dengan suara tegas namun lembut, "kita akan menemukannya. Kita akan cari Ivy. Lo tidak sendirian."
Yale hanya bisa berdiri di sana, terdiam, tangannya gemetar. Ia mengepalkan tangannya begitu keras hingga kukunya menekan dalam ke telapak tangannya. Di dalam kepalanya, bayangan Ivy yang ketakutan terus menghantui. Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan, dan rasa bersalah serta ketakutan menguasai seluruh pikirannya. Yale merasakan semua janji yang pernah ia ucapkan pada dirinya sendiri-janji untuk selalu melindungi Ivy-seakan memudar, berubah menjadi debu.
"Tidak... tidak mungkin... Gue tidak akan biarkan ini terjadi lagi..." gumamnya, mulai mondar-mandir di dalam studio. Dalam hati, Yale tahu ia tidak bisa hanya berdiri di sana. Ivy membutuhkan dia, dan Yale harus bertindak, cepat.
"Ivy... Ivy, aku mohon kau baik-baik saja..." desisnya, suaranya hampir pecah. Air matanya mulai menggenang, namun ia mencoba menahannya. Kepalanya penuh dengan bayangan Ivy dan wajah Roman yang dipenuhi kebencian. Rasa takut bahwa ia mungkin kehilangan Ivy semakin mencengkeram hatinya, membuatnya merasa hancur berkeping-keping.
Setelah menyerahkan ponsel pada Jovanna, Yale langsung meraih kunci mobil dan berlari keluar. Dengan napas tersengal dan hati yang penuh tekad, ia masuk ke dalam mobilnya, menyalakan mesin, dan segera melaju di jalanan kota yang ramai, matanya fokus pada setiap kendaraan yang berlalu. Dia mencari-cari, berusaha menemukan bayangan mobil Roman atau tanda apa pun yang bisa membawanya pada Ivy.
"Ivy... tolong bertahanlah. Aku akan menemukanmu... aku janji..." bisik Yale, air matanya mengalir di pipi. Bayangan Ivy yang ketakutan terus memenuhi pikirannya, dan Yale tahu bahwa ia tak akan pernah memaafkan dirinya sendiri jika sesuatu terjadi pada Ivy.
Di dalam mobil yang melaju kencang itu, Yale hanya punya satu tujuan -mencari Ivy sebelum semuanya terlambat.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVERB
General Fiction"REVERB" adalah kisah tentang perjuangan, dukungan, dan menemukan cinta dalam diri sendiri dan orang-orang terkasih.