Arga memahami bahwa lapangan tenis adalah satu-satunya tempat di mana Alana bisa benar-benar merasa bebas. Di tengah rutinitas yang penuh tekanan, tenis menjadi pelarian bagi Alana, dan Arga melihat ini sebagai kesempatan untuk mendekatinya lagi dengan cara yang tidak mengintimidasi
Suatu sore, Arga menunggu di tepi lapangan tempat Alana biasa bermain. Ia sudah membawa raket tenisnya, siap jika Alana muncul. Ketika akhirnya Alana datang, dia terkejut melihat Arga di sana, namun ekspresinya segera berubah menjadi netral, seperti biasa
"Kamu mau bertanding lagi?" Arga mencoba mencairkan suasana dengan senyum kecil
Alana memandangnya sejenak, lalu mengangguk pelan. "Baiklah, tapi jangan berpikir aku akan kalah lagi."
Mereka pun mulai bertanding. Kali ini, Alana terlihat lebih fokus, lebih agresif di setiap pukulannya, seolah melepaskan semua beban yang menumpuk dalam pikirannya. Arga berusaha mengikuti ritme, tetapi ia juga memperhatikan ekspresi Alana—ada sesuatu yang berbeda dalam setiap gerakannya, semacam ketegangan yang tersembunyi
Setelah beberapa set, Alana akhirnya berhenti. Ia terengah-engah, menghapus keringat dari dahinya. "Kau semakin bagus," katanya sambil tersenyum tipis, sesuatu yang jarang dilihat Arga akhir-akhir ini
"Kau juga," jawab Arga. "Aku senang bisa main bareng lagi. Sudah lama rasanya."
Alana mengangguk tanpa banyak bicara, namun Arga merasakan sedikit kehangatan yang mulai kembali. Mereka duduk di pinggir lapangan, mengambil jeda dari pertandingan mereka
"Alana," Arga memulai dengan hati-hati, "aku tahu aku nggak berhak nanya, tapi... kalau ada apa-apa, kau tahu aku di sini, kan?"
Alana terdiam sejenak, matanya menatap lurus ke depan. Setelah beberapa saat, ia berkata dengan suara rendah, "Kadang, ada hal-hal yang lebih baik tidak dibicarakan, Arga."
"Tapi aku peduli," Arga bersikeras. "Dan aku nggak akan maksa kamu cerita. Aku cuma mau kamu tahu aku di sini buatmu."
Alana menoleh padanya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Arga melihat kilatan emosi di mata Alana. Ia menghela napas pelan, seolah sedang menimbang sesuatu, tetapi kemudian ia hanya tersenyum samar dan mengucapkan, "Terima kasih, Arga."
Meskipun jawabannya tidak sepenuhnya membuka pintu, Arga merasa bahwa ada harapan. Sedikit demi sedikit, mungkin Alana akan kembali mempercayainya. Dan lapangan tenis, tempat mereka sering bertemu tanpa tekanan, adalah ruang yang sempurna untuk memulai semuanya kembali—dengan cara yang lambat, namun pasti
Setelah pertandingan selesai, Arga merasa ini adalah kesempatan baik untuk melanjutkan percakapan mereka di luar lapangan. Dengan senyum ramah, dia menawarkan, "Mau ngopi dulu? Aku tahu kafe kecil di dekat sini. Mungkin bisa jadi tempat yang tenang setelah main."
Alana tampak ragu sejenak, memikirkan tawaran itu. Tapi kemudian, dia mengangguk pelan. "Boleh juga."
Mereka berdua berjalan menuju kafe yang tak jauh dari lapangan. Tempatnya kecil, dengan suasana hangat dan aroma kopi yang khas. Arga memilih meja di sudut yang agak sepi, memberikan mereka sedikit privasi. Setelah memesan kopi, mereka duduk berhadapan. Alana duduk dengan tenang, memperbaiki syal di lehernya, masih dengan kebiasaannya menutup apa yang ingin disembunyikan
KAMU SEDANG MEMBACA
Wijayakusuma
RomanceAlana menyimpan sisi gelap yang tersembunyi jauh di dalam dirinya, sebuah rahasia yang tak ingin dibagikan kepada siapapun, bahkan Arga. Setiap malam, saat lampu kamar padam dan kesunyian menyelimuti, kenangan pahit dari hubungannya dengan Chandra m...