Hari sidang pertama akhirnya tiba, dan suasana di gedung pengadilan begitu mencekam bagi Alana. Ia berdiri di luar ruang sidang, jantungnya berdegup kencang, sementara tangannya menggenggam berkas-berkas dengan erat. Meski telah mempersiapkan diri selama berminggu-minggu, ketegangan tetap menghantuinya
Arga berdiri di sampingnya, menatap Alana dengan penuh perhatian. "Kamu sudah siap, Alana. Aku tahu kamu bisa," katanya dengan suara lembut, mencoba memberikan ketenangan
Alana menatapnya, senyum kecil mengembang di bibirnya meski masih tampak ragu. "Terima kasih, Arga. Aku tidak akan bisa sampai sejauh ini tanpa dukunganmu," ujarnya, suaranya sedikit gemetar
Tidak lama kemudian, Brian datang dan memberikan dukungan terakhirnya sebelum sidang dimulai. "Al, lo udah belajar berminggu-minggu. Lo pasti bisa menguasai kasus ini," katanya sambil menepuk pundaknya dengan senyum penuh semangat
Alana mengangguk dan menarik napas dalam-dalam. Ia tahu bahwa ia tidak hanya berjuang untuk kliennya, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Trauma masa lalu membuat kasus pidana menjadi tantangan besar baginya, tetapi kali ini, ia bertekad untuk menghadapi ketakutannya
Saat Alana memasuki ruang sidang, suasana menjadi semakin tegang. Semua mata tertuju padanya, termasuk Chandra yang duduk di deretan kursi belakang, menatapnya dengan tatapan sinis. Alana bisa merasakan tekanan yang besar dari mantan kekasihnya, tetapi ia mencoba mengabaikannya dan memfokuskan pikirannya pada keadilan untuk kliennya, Nisa
Hakim memasuki ruang sidang, dan semua orang berdiri. Setelah memberikan hormat, sidang dimulai. Alana berdiri di belakang meja pengacara, mencoba menenangkan diri sambil mendengarkan pembukaan dari jaksa penuntut
Ketika giliran Alana tiba untuk menyampaikan argumen pembuka, ia menarik napas panjang dan mengarahkan pandangannya ke arah hakim. "Yang Mulia, saya di sini untuk membela seorang perempuan yang telah mengalami kekerasan yang tidak manusiawi. Nisa adalah korban dari ketidakadilan, dan hari ini, kami akan menunjukkan kebenaran yang telah lama ditutupi," ujarnya dengan suara tegas, meski sedikit gemetar
Selama persidangan berlangsung, Arga dan Brian duduk di deretan kursi penonton, memperhatikan setiap langkah Alana dengan cemas. Mereka tahu betapa pentingnya momen ini bagi Alana—bukan hanya sebagai pengacara, tetapi juga sebagai bagian dari penyembuhan dirinya sendiri
Pertanyaan demi pertanyaan datang dari pengacara lawan, mencoba menggoyahkan kesaksian Alana. Mereka berusaha menyerang validitas bukti, mengkritik saksi-saksi, dan meremehkan argumen yang diajukannya. Namun, Alana mencoba tetap tenang, mengingat nasihat Arga dan Brian tentang pentingnya menjaga emosi tetap terkendali
Beberapa kali, Chandra terlihat menggelengkan kepala atau tersenyum sinis, seolah meremehkan usaha Alana. Namun, setiap kali tatapan mereka bertemu, Alana memilih untuk tidak terpengaruh dan kembali fokus pada pembelaannya
Di akhir sidang hari itu, meskipun masih belum ada keputusan final, Alana merasa lega. Ia tahu ini hanyalah awal dari proses panjang, tapi ia sudah berhasil melewati rintangan pertamanya. Arga mendekatinya segera setelah mereka keluar dari ruang sidang
"Kamu luar biasa tadi," katanya, suaranya penuh kebanggaan. "Kamu kuat, Alana. Aku yakin, kamu akan menang."
Brian juga menambahkan, "Congrats. You did it, Al."
Alana menatap kedua sahabatnya dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa bangga pada dirinya sendiri, dan lebih dari itu, ia merasa bahwa ia tidak lagi sendirian dalam perjuangannya. Dengan dukungan Arga, Brian, dan keyakinan dalam dirinya, Alana siap melangkah maju untuk menyelesaikan kasus ini, dan mungkin, perlahan-lahan mengatasi rasa takut dan trauma yang selama ini menghantuinya
KAMU SEDANG MEMBACA
Wijayakusuma
RomanceAlana menyimpan sisi gelap yang tersembunyi jauh di dalam dirinya, sebuah rahasia yang tak ingin dibagikan kepada siapapun, bahkan Arga. Setiap malam, saat lampu kamar padam dan kesunyian menyelimuti, kenangan pahit dari hubungannya dengan Chandra m...