Reasons to hurt

49 5 0
                                    

Arga berdiri di luar ruang perawatan Alana, tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Melalui jendela kaca, ia bisa melihat tubuh Alana yang tampak lemah di atas ranjang rumah sakit. Berbagai selang infus dan alat bantu medis terhubung ke tubuhnya yang rapuh, tampak begitu kecil di antara peralatan tersebut. Wajah Alana pucat, matanya tertutup, dan ia terlihat sangat berbeda dari sosok kuat yang biasa Arga lihat di kantor

Dokter menghampiri Arga, suaranya tenang namun serius. "Kondisinya cukup kritis. Alana mengalami malnutrisi berat. Ini kemungkinan akibat anorexia yang sudah lama tidak tertangani. Tubuhnya sudah sangat kekurangan gizi."

Arga merasa dadanya sesak mendengar penjelasan itu. Ia tidak menyangka bahwa Alana telah berjuang sendirian selama bertahun-tahun tanpa ada seorang pun yang menyadari betapa parah kondisinya. Semua pekerjaan, senyuman, bahkan sikap dinginnya, ternyata menutupi penderitaan yang dalam

"Apakah dia akan baik-baik saja, Dok?" tanyanya dengan suara serak, penuh dengan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan

"Kami akan melakukan yang terbaik. Namun, ini akan membutuhkan waktu. Tidak hanya secara fisik, tapi juga pemulihan mentalnya. Dia perlu banyak dukungan," jawab dokter itu lembut, kemudian meninggalkan Arga yang masih terpaku di tempatnya

Arga mendekati pintu ruang perawatan, langkahnya berat. Ia memasuki ruangan dengan hati-hati, merasa cemas saat melihat Alana dari dekat. Ia duduk di kursi di samping ranjang, matanya terpaku pada wajah Alana yang terlihat begitu damai meskipun tubuhnya dipenuhi dengan alat-alat medis

Arga meraih tangan Alana dengan lembut, merasakan kulitnya yang dingin di bawah genggamannya. Perasaan bersalah mulai merayap di dadanya. Ia merasa telah gagal melihat apa yang sebenarnya terjadi pada Alana. Setiap senyum, setiap canda yang mereka bagi, ternyata tidak mampu menutupi luka dalam yang Alana simpan rapat-rapat

"Alana... maafkan aku," bisiknya pelan, suaranya hampir tidak terdengar

Tidak ada jawaban. Alana masih terbaring tak sadarkan diri, tapi Arga tidak melepaskan genggaman tangannya. Ia bersumpah dalam hati, apapun yang terjadi, ia akan ada untuk Alana—tidak lagi akan membiarkan Alana bertarung sendirian

***

Ketika Alana akhirnya membuka matanya, pandangannya kabur. Dia mengedip beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya yang memenuhi ruangan. Tubuhnya terasa lemah, hampir tak berdaya, dan ia menyadari dengan ngeri bahwa ada berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya—selang infus di lengan, monitor detak jantung di samping ranjang, dan masker oksigen yang melekat di wajahnya

"Di mana aku?" gumamnya, suaranya serak dan lemah. Kepanikan mulai merayap, dan dia mencoba bergerak, namun tubuhnya terlalu lemah untuk melawan

Saat itu, pintu ruang perawatan terbuka perlahan, dan Arga masuk. Dia tertegun melihat Alana yang sudah terbangun, lalu segera menghampirinya dengan langkah cepat

"Alana," bisik Arga lembut, berusaha menenangkan Alana yang mulai gelisah. "Kamu di rumah sakit. Semuanya akan baik-baik saja."

Alana memandang Arga, matanya yang masih bingung dipenuhi dengan pertanyaan. "Apa yang terjadi? Kenapa aku di sini?" suaranya bergetar, tak bisa menyembunyikan ketakutannya

Arga duduk di tepi ranjang, menatapnya penuh perhatian. "Kamu pingsan di kantor. Dokter bilang... kamu mengalami malnutrisi berat. Mereka merawatmu sejak saat itu," jelasnya hati-hati, tak ingin membuat Alana semakin tertekan

Alana terdiam, mencoba mencerna informasi yang baru saja dia dengar. Ia tidak menyangka kondisi tubuhnya seburuk itu hingga harus dirawat. Pikirannya berkelana pada bagaimana selama ini ia mengabaikan kesehatannya sendiri. Semuanya datang seperti badai—pekerjaan, hubungan dengan Chandra, tekanan dari sekelilingnya. Semuanya menumpuk, dan ia tak pernah benar-benar memberi waktu untuk dirinya sendiri

WijayakusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang