Alana terbangun dari tidurnya, rasa sakit di sekujur tubuhnya segera menyeruak begitu kesadarannya pulih. Seluruh tubuhnya gemetar, rasa takut dan trauma menyergap begitu kuat. Ketika ia melihat sekeliling dan mengenali ruangan rumah sakit, ingatannya kembali seketika—Chandra. Alana memejamkan matanya, berusaha menahan air mata yang mulai jatuh. Chandra telah mengambil kesempatan saat Arga tidak ada, menghancurkannya tanpa belas kasihan
Arga, yang berada di samping tempat tidur, segera menyadari Alana terbangun. Wajahnya langsung penuh perhatian
"Alana?" bisiknya dengan lembut, namun penuh kekhawatiran. "Sayang?"
Alana memandang Arga, namun tidak mampu berkata apa-apa. Tangannya mencengkeram seprai, air matanya mengalir tak terkendali. Arga mengulurkan tangannya, mencoba menyentuhnya, tapi Alana menggeleng pelan, tubuhnya semakin gemetar. Ia merasa begitu takut, begitu rapuh. Melihat ketakutan di wajah Alana, Arga langsung menarik tangannya kembali, tidak ingin membuatnya merasa lebih tidak nyaman
"Alana... ada apa?" tanya Arga perlahan, meskipun ia tahu ada sesuatu yang sangat buruk terjadi. Ia bisa melihat ketakutan di mata Alana, sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Arga merasa hatinya remuk, tidak tahu bagaimana cara menolong Alana dalam situasi seperti ini
Alana akhirnya membuka mulutnya, suaranya hampir tidak terdengar, penuh dengan rasa sakit dan trauma
"Chandra... dia... dia..." Tangisnya pecah sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya. Ia merasa sulit untuk mengatakan apa yang telah terjadi, namun rasa takut itu begitu nyata, begitu menghantui setiap detik yang ia ingat
Arga sejenak terdiam, otaknya berusaha memproses apa yang baru saja Alana katakan. Matanya melebar ketika ia mulai memahami
"Chandra...?" bisiknya, hampir tidak percaya. "Apa... dia menyakitimu?"
Alana hanya bisa mengangguk, air matanya terus mengalir. Tubuhnya masih gemetar, seolah-olah rasa takut itu tidak pernah mau hilang. Arga terdiam, perasaannya bercampur aduk antara kemarahan, rasa sakit, dan ketidakberdayaan. Ia menggenggam tangan Alana dengan sangat lembut, berusaha memberikan ketenangan, meskipun ia tahu tidak ada kata-kata yang bisa menghilangkan trauma yang Alana rasakan
"Alana... aku bersumpah aku akan melindungimu. Aku tidak akan membiarkan hal seperti ini terjadi lagi. Aku akan melakukan apa pun untuk membuatmu merasa aman," kata Arga dengan suara bergetar
Alana tiba-tiba tersentak dan tangisnya berubah menjadi histeris. Ia merasa seluruh tubuhnya terasa terperangkap, panik dan takut yang ia rasakan tidak tertahankan lagi. Dalam kegilaan itu, ia mulai meronta, berusaha meraih infus yang terpasang di tangannya, ingin melepaskannya dan lari sejauh mungkin dari segala rasa sakit ini
"Alana! Tolong, jangan!" Arga dengan cepat memegang tangan Alana, berusaha menghentikannya agar tidak mencabut infus tersebut
"Alana, tenang... aku di sini... aku di sini..." katanya dengan lembut, meskipun suara hatinya dipenuhi ketakutan melihat Alana dalam kondisi seperti ini
Alana tidak mendengarnya, ia terus berusaha melepaskan diri, berteriak sambil air matanya mengalir deras. Ketakutan dan trauma yang ia rasakan begitu dalam, seolah-olah semuanya datang menghantamnya pada saat yang sama. Ia tidak bisa berhenti, seluruh tubuhnya gemetar, ia hanya ingin bebas, ingin keluar dari semua ini
Brian yang berada di sudut ruangan hanya bisa diam, menatap Alana dengan tatapan sedih dan tidak berdaya. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Hatinya sakit melihat sahabatnya yang kuat kini terjebak dalam trauma yang begitu mengerikan. Ia merasa seluruh keberanian Alana telah hancur, dan itu menyayat hatinya
Arga berusaha untuk tetap tenang di depan Alana, tetapi hatinya terasa hancur. Ia merasa bersalah karena tidak ada di samping Alana dan mengakibatkan hal ini bisa terjadi
"Maafkan aku, Alana... maafkan aku karena tidak ada di sampingmu," tambah Arga, menundukkan kepala, mencoba menahan air mata yang mulai jatuh
Ia merasa begitu marah pada dirinya sendiri, merasa gagal melindungi orang yang paling ia cintai. Dalam diamnya, Arga bertekad bahwa Chandra tidak akan dibiarkan bebas. Dia akan memastikan bahwa Chandra mendapatkan hukuman yang setimpal atas apa yang telah dilakukannya
Arga memeluk Alana erat, berusaha menahan tubuhnya yang masih terus meronta. "Alana, tolong... lihat aku, sayang," bisiknya sambil berusaha membuat Alana menatap matanya
"Kamu aman sekarang... aku di sini, Chandra tidak bisa menyakitimu lagi."
Ketika Alana mulai tenang, Brian berjalan keluar dari ruang perawatan, meninggalkan Arga dan Alana dalam momen paling rapuh mereka. Ketika pintu tertutup di belakangnya, ia merasa kesedihan dan kemarahan yang ia tahan sejak tadi mulai menumpuk, tidak tertahankan lagi
Brian menyandarkan punggungnya ke dinding koridor rumah sakit, perlahan menundukkan kepalanya. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi yang terus mendesak keluar, tetapi akhirnya ia menyerah. Air matanya jatuh, satu demi satu, membasahi pipinya. Tangan gemetar meremas ujung kemejanya, seolah-olah ia ingin menghentikan seluruh kepedihan itu
Ia merasa marah—marah pada Chandra yang telah melakukan kekejian terhadap Alana, marah pada dirinya sendiri karena tidak bisa melindungi sahabatnya, dan marah pada situasi yang tak bisa ia kendalikan. Ia selalu melihat Alana sebagai sosok yang tangguh, meski kadang rentan. Tapi kali ini, melihatnya dalam keadaan yang begitu terluka dan rapuh menghancurkan hati Brian sepenuhnya
Tangisannya tertahan di tenggorokan, suara napasnya terengah di tengah keheningan koridor yang sepi. Ia memikirkan kembali momen ketika ia pertama kali bertemu Alana—senyum cerahnya, tekad kuatnya, cara ia berjuang untuk kebaikan orang lain. Brian merasa seolah-olah ia tidak mampu melakukan apa pun untuk menjaga senyum itu tetap ada. Semua yang terjadi sekarang seperti mimpi buruk yang tidak berakhir
***
Setelah suasana di rumah sakit sedikit tenang, Alana ditemani oleh Arga untuk menjalani visum. Prosedur tersebut berlangsung dengan sunyi dan tanpa banyak kata-kata. Setiap langkah yang mereka lalui di lorong rumah sakit terasa seperti beban yang semakin memberatkan hati. Alana menatap kosong ke depan, tampak begitu rapuh dan tak berdaya, sementara Arga terus berada di sampingnya, menggenggam tangannya erat seolah tak ingin melepaskannya
Setelah beberapa waktu yang penuh kecemasan, hasil visum pun keluar. Arga menahan napas saat dokter mulai menjelaskan hasilnya. Kata-kata yang diucapkan dokter terdengar seperti petir yang menggelegar di telinga Arga. Setiap detail yang keluar dari mulut dokter—tentang luka fisik, tentang apa yang dialami Alana—seperti mengiris hatinya menjadi serpihan kecil
"Selain kekerasan fisik, korban juga mengalami kekerasan seksual," Ucap dokter dengan hati-hati. "Ini kasus yang serius, sebaiknya diproses secara hukum"
Arga berusaha menahan emosinya, tetapi kenyataan begitu menyakitkan. Matanya berkaca-kaca, dan akhirnya air mata jatuh tanpa bisa ia tahan lagi. Ia merasa hatinya hancur, membayangkan apa yang telah dialami Alana—orang yang paling ia cintai. Perasaan marah, sedih, dan tidak berdaya bercampur menjadi satu, membuat dadanya terasa sesak
Sementara itu, Alana hanya duduk dengan pandangan kosong, seolah telah kehabisan air mata untuk menangis. Ia mendengarkan semuanya dengan ekspresi yang begitu hampa, seolah tidak benar-benar menyerap apa yang dikatakan. Di sudut ruangan, Arga terisak pelan, tidak mampu menyembunyikan kepedihan yang begitu mendalam. Ia merasakan ketidakberdayaan yang belum pernah ia alami sebelumnya. Dalam hatinya, ia bertekad bahwa ia akan terus berada di samping Alana, apapun yang terjadi. Ia akan melindunginya, bahkan jika harus mempertaruhkan segalanya
Arga menggenggam tangan Alana dengan erat, menunduk untuk mencium punggung tangan kekasihnya dengan lembut
"Maafkan aku, Alana... Aku tak bisa melindungimu," bisiknya sambil menangis, suaranya nyaris pecah karena emosi yang tak bisa dibendung lagi. Ia ingin memberikan kekuatan pada Alana, tetapi di saat yang sama ia merasa begitu lemah, hancur melihat keadaan kekasihnya seperti ini
Alana perlahan menoleh, melihat Arga yang menangis untuknya. Meski tidak mengatakan apa-apa, mata Alana mengekspresikan segala rasa sakit dan kesedihan yang mendalam. Perlahan, ia menyentuh pipi Arga, menghapus air mata yang mengalir. Tidak ada kata yang terucap, hanya keheningan yang menggema, menyimpan luka yang tak terlihat tetapi terasa begitu nyata di hati mereka berdua
KAMU SEDANG MEMBACA
Wijayakusuma
RomanceAlana menyimpan sisi gelap yang tersembunyi jauh di dalam dirinya, sebuah rahasia yang tak ingin dibagikan kepada siapapun, bahkan Arga. Setiap malam, saat lampu kamar padam dan kesunyian menyelimuti, kenangan pahit dari hubungannya dengan Chandra m...