Melancholia

33 5 0
                                    

Perilaku Chandra semakin tak terkendali setelah kejadian di rumah sakit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perilaku Chandra semakin tak terkendali setelah kejadian di rumah sakit. Bukannya memperbaiki diri, ia justru menjadi lebih agresif, terutama di lingkungan kantor. Alana bisa merasakan setiap tatapan sinis yang Chandra arahkan padanya, bahkan ketika mereka berada di ruangan yang berbeda. Gosip tentang hubungan mereka terus beredar, dan Chandra sepertinya tidak henti-hentinya menyebarkan desas-desus negatif, berusaha menjatuhkan reputasi Alana

Suatu hari saat rapat, Chandra dengan sengaja mencoba mempermalukan Alana di depan rekan-rekannya. Dia memotong penjelasan Alana tentang strategi kasus yang sedang mereka tangani, dan dengan nada sarkastis, dia berkata, "Oh, jadi kamu benar-benar tahu apa yang sedang kamu bicarakan, ya? Mungkin Arga yang kasih tahu semua ini padamu."

Semua mata langsung tertuju pada mereka. Alana menggigit bibirnya, berusaha menahan amarah yang mendidih di dalam dirinya. Dia tahu Chandra sengaja memprovokasinya di depan banyak orang

Tapi Alana tetap tenang, menghirup napas dalam-dalam sebelum merespons, "Saya selalu mengandalkan kemampuan saya sendiri dalam pekerjaan ini. Dan saya akan terus melakukannya, terlepas dari apa yang orang lain katakan."

Chandra tertawa kecil, tetapi tidak ada yang ikut tertawa. Rekan-rekan mereka mulai merasa tidak nyaman dengan situasi tersebut, terutama karena mereka tahu bahwa Chandra sudah lama membawa masalah pribadi ke dalam lingkungan kerja. Tapi Chandra tidak berhenti sampai di situ. Setelah rapat, dia mendekati Alana di ruang kerja, menundukkan badannya dan berbisik kasar, "Kamu mungkin bisa menipu semua orang di sini, tapi aku tahu siapa kamu sebenarnya."

Setiap hari menjadi lebih berat bagi Alana, dan meskipun Arga selalu ada untuknya, dia tidak bisa menghindari perasaan tertekan. Chandra mulai mengawasinya dengan intens di kantor, mencoba menemukan kesalahan kecil untuk digunakan sebagai alasan mempermalukan Alana di depan orang lain

Keadaan menjadi semakin meresahkan ketika suatu hari Alana menemukan pesan bernada mengancam di laci mejanya. Pesan itu tidak menyebutkan nama, tapi jelas mengacu pada hubungannya dengan Arga dan memperingatkannya untuk menjauh jika dia tidak ingin lebih banyak "masalah" muncul. Alana semakin gelisah, merasa bahwa Chandra sudah keterlaluan, dan mungkin mulai membahayakan keselamatan serta kariernya

Arga semakin khawatir melihat Chandra yang terus menyerang Alana baik secara emosional maupun profesional. Mereka berdua tahu bahwa keadaan tidak bisa dibiarkan seperti ini lebih lama lagi. Arga mulai berpikir bahwa langkah hukum perlu diambil untuk menghentikan Chandra, tapi dia juga tidak ingin memaksa Alana jika dia belum siap

Namun, satu hal yang pasti—Chandra sudah melewati batas, dan sesuatu harus dilakukan sebelum semuanya menjadi lebih buruk

Di smoking area, Arga berdiri dengan pikiran yang berkecamuk. Asap rokok yang melayang di sekitarnya seolah tak bisa mengusir kekhawatiran yang terus menghantui benaknya. Brian kemudian muncul seperti biasa, menyulut rokoknya dan duduk di sebelah Arga. Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati keheningan yang hanya terisi oleh kepulan asap

"Gue nggak bisa diam aja, Brian," Arga akhirnya membuka pembicaraan, suaranya terdengar berat. "Chandra semakin mengancam Alana. Gue lihat sendiri. Dia kayak... punya kuasa penuh atas hidup Alana, dan gue nggak bisa terima itu."

Brian mengangguk pelan, menatap Arga dengan penuh pengertian. "Gue udah tahu, Ga. Gue lihat lo makin peduli sama Alana, dan gue ngerti kenapa."

Arga menghembuskan asap terakhir dari rokoknya sebelum membuang puntungnya. "Lo tahu lebih banyak soal mereka, kan? Gue bisa lihat ada sesuatu yang lebih dalam, padahal hubungan mereka udah lama selesai. Apa yang sebenarnya terjadi antara mereka?"

Brian terdiam sejenak, menimbang kata-katanya sebelum akhirnya berbicara. "Masa lalu Alana sama Chandra itu rumit, Ga. Mereka pacaran lama, sekitar enam tahun lebih. Awalnya kelihatannya baik-baik aja, tapi gue mulai tahu ada yang salah saat Alana makin tertutup."

Arga mendengarkan dengan seksama, hatinya terasa semakin berat

"Chandra itu manipulatif, suka ngatur-ngatur Alana," lanjut Brian. "Awalnya Alana nggak ngeluh, dia mungkin berpikir itu wajar dalam hubungan. Tapi semakin lama, Chandra jadi kasar, emosional, dan terlalu protektif. Gue tahu dia pernah ngelakuin hal-hal yang nggak bisa dimaafin ke Alana—bukan cuma kata-kata kasar, tapi juga fisik."

Arga menahan napas, kemarahannya perlahan mendidih mendengar cerita itu. "Kenapa Alana nggak ninggalin dia dari dulu?"

Brian menatapnya tajam. "Lo pikir gampang? Alana waktu itu takut. Chandra pinter banget bikin dia ngerasa nggak punya pilihan. Chandra bisa bikin dia percaya kalau nggak ada orang lain yang mau terima dia selain dia. Itu yang namanya hubungan toxic, Ga. Nggak sesederhana bilang, 'Tinggalin aja.'"

Arga diam, merenung. Sekarang semuanya lebih jelas—mengapa Alana terlihat begitu terluka dan rapuh di balik sikap tegar dan dinginnya

"Sekarang gue tahu kenapa dia begitu tertutup," ujar Arga dengan suara yang terdengar penuh beban. "Gue cuma... pengen nolong dia, Brian. Gue nggak tahan lihat dia disakiti lagi."

Brian tersenyum kecil, meski wajahnya masih penuh keseriusan. "Gue ngerti, Ga. Tapi lo harus hati-hati juga. Alana mungkin butuh waktu untuk benar-benar keluar dari bayang-bayang Chandra. Kalau lo mau bantu, lo harus sabar."

Arga mengangguk, menyadari bahwa perjuangannya untuk mendekati Alana tidak hanya soal perasaan, tapi juga soal melindunginya dari luka yang lebih dalam

Arga memperhatikan Alana dengan cermat saat ia berdiri di depan meja kerjanya. Wajah Alana yang pucat dan mata yang tampak lelah membuat hatinya terasa berat. Ia tahu betapa kerasnya Alana bekerja, dan ia merasa ada yang tidak beres. Dengan lembut, ia mengusap rambut Alana dan memberikan senyuman hangat

"Hey, kamu baik-baik saja?" tanya Arga lembut, khawatir

Alana menoleh dan tersenyum, meski senyumnya terlihat dipaksakan. "Iya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah. Aku mau buat kopi, ya," jawabnya, sambil melangkah menuju pantry

Arga terdiam di depan pantry, menunggu Alana kembali dengan kopi. Namun, suasana tenang itu tiba-tiba pecah oleh suara keributan. Ia mendengar teriakan dan langkah kaki terburu-buru. Jantungnya mulai berdegup kencang. Tanpa berpikir panjang, Arga berlari menuju arah suara

Saat ia membuka pintu pantry, pemandangan yang ia lihat membuat hatinya terhenti. Alana tergeletak di lantai, tidak sadarkan diri, dikelilingi oleh beberapa rekan kerjanya yang tampak panik. "Alana!" teriak Arga, langsung berlutut di sampingnya, mengambil tangan Alana dan merasakannya

Keringat dingin mengalir di pelipisnya saat ia melihat wajah Alana yang pucat dan tidak bergerak. "Apa yang terjadi?!" tanyanya dengan suara bergetar, mengabaikan kerumunan yang terus berbisik

Seorang rekan kerja mendekat dan menjelaskan, "Dia pingsan tiba-tiba. Kami tidak tahu kenapa."

Arga menggenggam tangan Alana lebih erat, merasakan ketidakberdayaan yang menyelimuti dirinya. "Panggil ambulans! Kita harus membawanya ke rumah sakit!" teriaknya dengan panik. Suaranya menggema di ruangan itu, menarik perhatian lebih banyak orang

Rekan-rekan di sekitarnya segera beraksi, tetapi Arga tidak bisa berpaling dari Alana. Dia terus memanggil namanya, berusaha membangunkannya. "Alana, sayang, tolong bangun. Aku di sini. Bangunlah," ucapnya sambil berusaha menahan air mata

Tak lama kemudian, beberapa orang di kantor mulai berbisik tentang hubungan mereka. "Lihat betapa khawatirnya Arga. Sepertinya mereka lebih dari sekadar rekan kerja," bisik seseorang, sementara yang lain mengangguk setuju. Panggilan sayang yang meluncur dari bibir Arga semakin menegaskan bahwa hubungan mereka telah melampaui batas profesional

Kekhawatiran dan cinta yang mendalam tercermin di mata Arga. Ia tidak peduli dengan tatapan orang-orang di sekelilingnya. Hanya satu hal yang ada dalam pikirannya: memastikan Alana baik-baik saja. Dan saat ambulans akhirnya tiba, ia segera ikut mendampingi Alana ke rumah sakit

WijayakusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang