Rebecca mengerutkan kening saat melihat mobil Billy di depan rumah. 'Kupikir aku menyuruhnya meneleponku setelah dokumennya selesai, apa yang dia lakukan di sini?' monolognya saat menyadari kehadiran Billy.
Rebecca menghela nafas saat memasuki rumah dan melihat Billy sedang duduk bersama Freen, Rebecca juga melihat dokumen di atas meja. Billy bangkit saat menyadari kehadiran Rebecca.
"Bang, maafkan aku. Tapi aku tidak bisa membiarkanmu..." merasa terintimidasi oleh tatapan itu membuat Billy tidak bisa menyelesaikan perkataannya.
Rebecca menggertakkan gigi dan melihat ke arah Freen yang sedang menatap dokumen di atas meja.
"Bang..." Billy mencoba berbicara.
"Kamu boleh pergi" Rebecca memberi isyarat untuk Billy segera meninggalkan mereka.
"Aku minta maaf"
Rebecca mengangguk sebagai jawaban, tatapannya masih tertuju pada Freen, bertanya-tanya dalam hatinya apa yang Freen pikirkan saat ini.
"Maaf Bang, Aku benar-benar minta maaf, tapi..." Billy benar-benar merasa bersalah.
"Tidak apa-apa. kamu bisa tinggalkan kami"
Billy ragu-ragu, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan. Billy berlutut dan membungkuk dalam-dalam hingga dahinya menyentuh lantai sebelum dia pergi.
Suasana hening. Tenggorokan Rebecca terasa kering, saat ini dia tidak tahu harus berkata apa.
"Kupikir kamu mencintaiku" Freen mulai berbicara sambil masih menatap ke meja. "Kupikir kamu juga mencintai anak-anak"
"Kamu tahu, Aku selalu mencintai kalian" Rebecca menjawab dengan tenang.
"Dengan cara apa? Dengan mengirim kami ke tempat lain tanpa memberitahu kami?! Kamu bahkan berjanji padaku untuk selalu di sisiku selamanya, dan sekarang ini apa?"
Bahkan Rebecca tidak bisa berkata apapun, dia tidak punya jawaban apa pun.
"Rebecca Ariana James, sekejam apa kamu?" Freen mulai menangis.
"Freen..." Perlahan Rebecca mendekatinya "Aku tidak punya pilihan"
"Apa maksudmu kamu tidak punya pilihan? Mengapa kamu tidak bisa pergi bersama kami?"
"Aku tidak bisa melakukan itu, Freen"
"MENGAPA? Karena kami tidak cukup penting bagimu?"
"Karena mereka membunuh kakekmu!" Rebecca tidak bisa menahannya lagi. "Mereka membunuhnya" Air mata jatuh di pipinya. "Aku bahkan tidak akan berdiri di hadapanmu jika bukan karena dia, Freen. Dia menyelamatkanku. Dia memberiku kehidupan"
"Bagaimana kamu tau...?"
"Ingat malam itu saat aku memberitahumu Amanda menciumku? Bukan ciuman itu yang membuatku pucat. Tapi apa yang keluar dari mulutnya - 'Kami berhasil menyingkirkannya', itulah yang dia katakan."
Freen kehilangan kekuatannya dan menjatuhkan diri ke sofa. Rebecca berlutut di depannya. "Kamu tahu aku mencintaimu dan anak-anak lebih dari apa pun, tapi aku tidak bisa membiarkan ini..."
"Aku tidak akan pernah bisa bertahan hidup tanpamu, Becc" Suaranya bergetar.
"Monika akan menjagamu. Setelah semuanya selesai, aku akan menjemputmu dan anak-anak" Rebecca mencoba menenangkan.
Freen menatap mata Rebecca mencari kebenaran, "Kamu pikir aku sebodoh itu? Kamu bahkan tidak berencana untuk kembali menjemput kami. Bukankah kita perlu mencoba, Becc? Aku tidak takut mati, tapi bagaimana dengan anak-anak kita? Bukankah mereka berhak mendapatkan kesempatan untuk tumbuh bersama orang tua mereka?"
"AKU..." Rebecca sudah kehabisan kata-kata.
"Tentu saja aku ingin mereka semua mati atas perbuatan mereka terhadap Kakek. Tapi aku tak bisa tanpamu, Becc... Aku tidak punya kekuatan dan keberanian. Aku tidak bisa hidup tanpamu. Aku membutuhkanmu, Becc. anak-anak kita membutuhkanmu" bahkan Isak tangisnya masih terdengar saat mengatakannya.
"Freen...."
"Tolong jangan lakukan ini, kumohon pergi bersama kami. Atau kita akan tetap di sini, aku tidak peduli selama kita bersama. Kumohon, kumohon"
Isak tangisnya semakin keras sehingga Rebecca hampir tidak bisa memahaminya apa yang Freen ucapkan. Rebecca sedih melihat Freen seperti ini. 'Apa aku memang egois?' monolognya. Rebecca duduk di samping Freen dan menariknya ke dalam pelukan, Rebecca mencium puncak kepalanya. Freen mengepalkan baju Rebecca dengan erat. "Kumohon Jangan tinggalkan aku"
Rasanya setiap inci tubuh Rebecca diiris pisau melihat orang yang paling dia cintai menangis seperti ini. "Berjanjilah padaku, kamu tidak akan meninggalkan kami" ucap Freen di sela isak tangisnya.
Rebecca menggigit bibirnya, melepaskan pelukannya dan mencium bibir Freen dengan lembut, bibirnya terasa asin karena air matanya.
Air mata tak bisa lagi terbendung saat Rebecca memberi sedikit ruang dan berkata, "Maafkan aku..."
-
-
-
"Mom, boleh kami ke sana?" kata Raiden menunjuk sebuah tempat.
Freen melihat ke arah yang ditunjuknya dan mengangguk, "Jangan lama-lama ya? Dan jaga adikmu"
"Ya, Mom"
Freen memperhatikan Katherine dan Raiden beberapa saat, sebelum dia berbalik dan berlutut di depan makam seseorang.
"Hai" Freen berkata "Ini aku" sembari menyapu dedaunan yang menutupi nama di makam tersebut. "Cuaca sudah mulai dingin, sudah turun hujan sejak kemarin"
Freen meletakkan bunga itu di makam tersebut. "Kathrine mengalami patah tulang di lengannya dua minggu lalu karena dia jatuh dari kuda, tapi dia sekarang baik-baik saja. Dokter memasang gips pada lengannya, syukurlah tidak terlalu parah sehingga tidak harus dioperasi"
"Aku tidak percaya betapa cepatnya waktu berlalu. Hari ini tanggal 18 Februari, ingat hari itu? Begitu banyak kemarahan dan kesedihan." Freen membelai makam yang dingin itu dan berkata, "Aku sangat merindukanmu. Aku ingin sekali mendengar suaramu lagi."
Freen menatap langit hitam, tetesan air hujan mulai turun, seperti hari itu dan pikirannya kembali ke 10 tahun yang lalu.
-
-
-
To be continue
Salam Persahabatan
KA Jungliu
"Tolong jangan marah dulu" 😅
KAMU SEDANG MEMBACA
Sedekat Nadi (Beckyfreen)
Romance"Meskipun dalam diriku tidak mengalir darah mu, Aku akan selalu menjadi penguat dan pelindung keluarga Adhyaksa" _ Raja _ tidak terikat darah bukan berati tidak bisa menjadi keluarga. Kesetiaan lebih erat ikatannya dari sedarah.