Transit Yang Membuat Frustrasi

25 3 7
                                    


Kami transit di Doha, untuk melanjutkan penerbangan 6 jam kemudian. Sepanjang terminal kedatangan Mas Arya menyeret satu travel bag kecil yang berisi pakaian ganti dan peralatan mandi, dia menggenggam tanganku. Kami tiba pukul 10 malam waktu Doha.Terminal kelas satu akan memberi akses ke lounge yaitu Al Safwa First Class Lounge, yang dirancang dengan konsep kemewahan dan ketenangan yang optimal.

Pengalaman pertama lainnya dengan Mas Arya. Hatiku masih cemberut sedih. Begitu mudahnya aku terbujuk dengan buaian Mas Arya. Dia terlalu lihai bukan? Memanjakan perempuan, melambungkan angan mereka, jika hatiku tak terlalu buta karena cinta Dipta, mungkin mataku bisa melihat mas Arya lebih jelas.

Mas Arya, tepatnya Raden Mas Adipati Arya Bisma, lahir di Sydney 29 tahun yang lalu, 3 bulan lagi pria yang tengah menggandeng tanganku ini berulang tahun ke 30. Dia lahir dan besar di Sydney, sampai SMP, lalu pindah ke Singapura untuk melanjutkan SMA, kuliah di Sydney sampai mengambil ahli bisnis hingga akhirnya ayahnya, yang kini harus ku panggil Papi, berikan kepercayaan untuk mengelola perusahaan Otomotif , Showroom mobil yang berada di Semarang.

Papi, yang bernama Raden Mas Adipati Bhagaskara Bisma adalah keturunan Ningrat yang berdarah campuran, ibunya Belanda sementara ayahnya asli Jawa, Mas Arya mewarisi wajah tampan Papi, bedanya iris mata papi berwarna abu, dan itu diturunkan kepada Mbak Anjani. Mata Mas Arya berwarna onyx, hitam pekat, dan itu dari Mami yang memiliki keturunan Asli Ningrat. Wajah Mami adalah wajah Ningrat tulen. Ayu, manis, meneduhkan.

Teknisnya, Mas Arya baru 6 tahun berada di Semarang, wajar jika lidah dan pergaulannya seperti bule pada umumnya.

"Capek?" Tanyanya , dia menarikku, lengannya melingkari tubuhku.

"Nggak, tapi kepengen mandi." Badanku lengket, dan bau sperma!

Mas Arya tersenyum, " Di kamar nanti bisa mandi. Mau makan dulu? Restoran Timur Tengah sini enak- enak. Kari kambingnya juara." Tawarnya.

"Kamu laper Mas? Kalo laper aku temani makan. "

"Aku pengen ikut keinginan kamu, katanya aku terlalu memaksa, aku juga bisa kok ikut pendapatmu."

"Tapi urusan perut harus nomor satu, laki- laki gampang marah biasanya kalo laper." Jawabku

Mas Arya menoleh, " Teori siapa? Aku nggak kok."

"Nggak pake teori cuma biasanya begitu."

"Pacarmu? Suka marah? Kalo Laper?"

Kenapa bawa- bawa Dipta lagi! Tak cukupkah dia menyiksaku di Kabin kelas satu?

"Kita mandi dulu, baru makan ya, aku pengen ganti baju." Alihku.

Mas Arya masih menatapku, tapi aku membuat tatapan lurus ke depan. Tentu saja Dipta nggak pernah marah, sekalipun dia nggak pernah menaikkan nada suaranya, dia sangat memahami aku, Aruni yang rapuh, yang harus hati- hati karena sepanjang hidupku terlalu banyak luka yang ditinggalkan kedua orangtua dan lingkungan.

"Kamu belum jawab pertanyaanku."

"Mas, aku ingin ada batasan dalam pembicaraan kita, aku nggak nyaman setiap kali bicara kamu bawa- bawa dia, bukannya kamu bilang aku harus belajar melupakannya?"

"Aku hanya ingin tahu." Jawabnya

"Apa gunanya?"

"Hanya ingin tahu dia memperlakukan kamu bagaimana?"

Sangat lembut mas, dia pria yang pandai menjaga hati.

"Tidak penting untuk dibahas." Jawabku pendek. Aku menarik nafas, sesak rasanya, makin sulit jika Mas Arya terus menghadirkan bayangan Dipta diantara kami.

ARUNI & ARUNDYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang