AKBP Pradipta Wirakencana SIK, MH

42 4 30
                                    

Everything starts healing, when you stop feeling #PW

********************************************


Setelah acara pisah sambut dengan Kapolres lama, Ibu berulang kali mengirim pesan jika Kanya Ningrum dan Ibunya ada dirumah. Aku tak bisa langsung pulang karena tamu- tamu masih banyak, Kapolres lama juga masih tinggal membahas kasus - kasus yang dia tangani selama dua tahun menjabat di Polrestabes  Semarang.

"Saya percaya dibawah Pimpinan Mas Pradip kasus- kasus yang tengah di lidik akan segera selesai." Mas Bambang menjabat tanganku, Senior di Akpol yang lebih tua 8 tahun dariku dimutasi menjadi Kapolres Malang.

"Terimakasih Mas, tetap nanti aku butuh arahannya."

Dia tertawa, " Untuk orang yang menolak jadi Wakapolda, dan milih tetap di sini, rasanya Mas Pradip bisa mengatur  Semarang lebih baik." Ucapnya merendah.

"Jadi benar kabarnya, alasannya karena mau melepas masa lajang?" Tanyanya saat sudah berada di pintu keluar.

Aku hanya tertawa, " Doakan saja Mas. " Wajah Kanya Ningrum yang dikirim Ibu melalui pesan di ponselku melintas. Aku menarik nafas tak lega. Mungkin karena belum berpisah dengan Aruni secara benar, aku masih menunggunya. Tapi di satu sisi usiaku juga sudah tak layak untuk terus menyandang status bujangan.

Alih- alih langsung pulang, aku malah mampir ke Sekolah. Gerbangnya masih sama, bangunan utama juga, tapi sudah ada penambahan fasilitas di sana sini, bangku- bangku kayu dibawah pohon sudah tidak ada lagi, aku berjalan menuju Pohon Akasia yang besar, meraba sisi batangnya yang masih sangat ku ingat saat menoreh dua inisial namaku dan Aruni. Rasanya masih sama sedihnya ketika tahun- tahun aku mencarinya tapi tak kunjung bertemu.

Dua puluh satu tahun lebih bukan waktu yang sebentar. Aku menghabiskan stok kesabaran Ibu Bapak, meskipun dengan dalih pekerjaan, tapi mereka tahu. Aku masih tak tega untuk meninggalkan Aruni. Aku masih belum sanggup mengucapkan perpisahan dengannya.

Yang sering menjadi beban dalam pikiranku, pertanyaan besar yang sering mengendap dan tak pernah memudar, apa yang dilakukan Aruni sebagai jalan menuju cita- citanya? Kenapa dia tak kunjung pulang jika dia memang meraih cita- citanya? Ataukah dia hanya membuat alasan? Berdusta? Agar aku tak patah arang?

Aruni mengetahui diriku, bahkan dia lebih baik mengetahui aku daripada diriku sendiri. Tahun demi tahun aku mencarinya, mengintip data base kepolisian tentang human Trafficking, menitip pencarian atas namanya dengan Junior yang bertugas di Reserse Semarang,  semua nihil. Aruni seperti ditelan bumi.

"Dimana kamu Ru? Butuh berapa lama lagi aku menunggu kepulanganmu? " Aku berbisik saat melewati Pohon Akasia, lalu berjalan ke belakang perpustakaan. bangunan itu sepertinya di renovasi dan jadi tambah luas. Aku duduk di bangku panjang, ditempat kami biasa janjian.

"Aru,...kamu bilang ingin dimaafkan? Aku maafkan kamu apapun yang kamu lakukan...Tapi aku juga ingin minta maaf Ru,..aku nggak bisa menunggu kamu lagi, aku nggak bisa menuhi janji untuk menikahimu. Ini terlalu lama Ru,...maafkan aku, kalau suatu hari nanti kamu pulang,...tempat yang dulu pernah aku janjikan untukmu  sudah diisi orang lain. Maaf Ru,...ini juga berat untukku, untuk menutup buku tentang kisah kita." Aku berbisik seolah dia ada disampingku seperti biasanya, aku berbisik agar hatiku lega, aku tak bisa menulis pesan seperti yang dia lakukan saat dia berpamitan, aku tak bisa mencarinya, bahkan saat Pak Sadikin meninggal, Aruni juga tak datang!

Aku tak lagi punya siapa- siapa untuk menghubungkan diriku dengannya.

Pesan Ibu kembali melayang, Kanya Ningrum masih di rumah, meskipun Ibunya sudah pulang. Gadis itu bahkan membantu Ibu menyirami bunga- bunganya. Bunga milik Aruni.

ARUNI & ARUNDYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang