Mini- Aruni

29 4 17
                                    




Entah dengan cara apa Anjani membujuk pihak sekolah untuk menerima Arundya di Elementary, jelas- jelas usianya belum cukup. Tapi Arundya berkeras, dia terlalu kesepian dirumah saat Samuel memulai kelasnya.

"Nanti dia bosan Mbak, ikutkan saja les yang lain." Ucap Arya.

"Sudah, dia tetap mau sekolah."

"Kenapa rambutnya jadi merah?" Tanya Arya ketika menatap foto terbaru Arundya yang dikirimkan Anjani.

"Dia mau sedikit merubah penampilannya untuk Ajang VOA. Kamu harus datang!"

Arya menarik nafasnya lagi. " Aku usahakan."

"Jangan bohong!" Bentak Anjani, lantas memutuskan teleponnya.

Tapi Arya kembali menghindar,...dia tak datang di ajang Voice of Australia, Arundya kembali menyebut jika hadiahnya diperuntukkan untuk dirinya, yang membuat Anjani sedih, Arundya malah bilang, " Untuk Papa, dimana saja Papa berada." Hati Anjani ngilu, seolah Arundya tahu Arya terus mengelak dan membuat alasan kemana- mana kecuali hadir dalam pertunjukkannya.

------------------

Malam itu, Arya kembali terjaga, telinganya menangkap suara piano Aruni, Arya bergegas memutari rumahnya ke bagian utara. Aruni duduk di balik piano, memainkan lagu yang sama, lagu cinta untuknya.

"Aruni,..." Arya menyapa, namun Aruni tak menoleh ke arahnya.

Arya mendekat,..Aruni abai, dia tak menghentikan permainannya. Arya lalu duduk disebelahnya, Aruni diam, tapi air mata jatuh di pipinya.

"Aruni, kamu kenapa? Kamu sakit?" Suara Arya bergetar,

Aruni tidak menjawab seperti biasanya,..tapi wajahnya begitu sedih. Dia menyelesaikan permainan Pianonya lalu berdiri dan melangkah keluar dari ruangan, Arya mengejar, lantas Aruni menghilang di ujung lorong.

Arya mencari- cari, tapi Aruni tak lagi dapat dia lihat, dadanya sesak, Arya ketakutan jika Aruni tak lagi bicara dengannya, tak lagi muncul di rumah mereka, lalu bagaimana dia mengatasi rasa sepinya? Bagaimana dia mengatasi rindunya? Arya bergegas menuju garasi, meraih kunci dan melajukan mobil ke makam Aruni.

Dia bertahan disana hingga pagi, sampai penjaga makam membangunkannya, menyuruhnya pulang, karena Arya tak sadar tubuhnya disiram hujan.

Pagi itu, Arya baru diberitahu , jika Arundya masuk rumah sakit, panasnya tinggi, bukan Anjani yang beri tahu tapi Mami. Anjani terlalu sakit hati, Arya tak pernah muncul sejak ulang tahun Arundya yang kedua. Kini Arundya sudah berusia 9 tahun. Anjani terlalu marah padanya, Arya selalu menghindar.

"Sakit apa Mi?" Perasaan tak nyaman begitu cepat menyebar.

"Mami juga nggak tahu, mana Evan lagi di Eropa." Suara Mami kalut.

Arya terdiam setelah mendapat kabar itu, perasaannya tak menentu, apalagi Anjani tak kunjung mengangkat teleponnya.

"Lus, carikan penerbangan langsung Sydney, yang paling cepat." Putus Arya tiba- tiba.

Lucy menganga, tapi cepat dia mengangguk.

Arya kembali ke rumahnya, mengambil paspor dan menyiapkan travel bagnya. Sesaat dia teringat Aruni yang muncul tadi malam, terlihat sedih dan abai padanya. Arya jelas tahu Aruni marah dia tak kunjung peduli dengan Arundya. Bukan, dia bukan seperti itu, dia hanya merasa Arundya lebih baik bersama Anjani, dia tak akan mampu mencintai dan menyayangi Arundya setelah sadar dirinya tak pernah genap, dirinya tak cukup kuat untuk Arundya.

Tapi,...mengetahui Arundya sakit, hingga Anjani membawanya ke Rumah Sakit, perasaan tak enak itu semakin kuat mencengkram dadanya, kenangan buruk selalu menghantui Arya jika berkaitan dengan Rumah Sakit, kekhawatiran terhadap kondisi Arundya tak bisa dipungkiri, setiap jam semakin bertambah besar. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, insting seorang ayah itu tak pernah hilang, meskipun duka cita dan kesakitan berulang- ulang membuatnya terbang, tapi insting itu tetap ada, pasti ada. Arundya adalah darah dagingnya, bukti cinta Aruni dan dirinya.

ARUNI & ARUNDYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang