Pertama kali mengenal Dipta

29 3 9
                                    

Aku jatuh cinta padanya bukan karena dia pemuda paling tampan di sekolah, atau karena dia Kapten Tim Basket Putra, Atau karena dia jago Taekwondo, atau karena kepintarannya yang selalu meraih prediket juara Umum, atau karena prestasinya, yang selalu meraih juara disetiap ajang Olimpiade atau pun perlombaan- perlombaan sains lainnya. Atau karena dia anak yang periang, lucu, selalu membuat orang lain tertawa, dan dari kejauhan aku juga ikut- ikut ketawa. Melihat gigi kelincinya yang lucu, matanya yang jernih seperti bayi, atau hidungnya yang tinggi dan sempurna, atau kulitnya yang putih bersih, hingga jika ia tertawa wajahnya akan merah saga.

Bukan,.....

Tapi karena dia beda. Dia gigih. Dia juga pejuang. sama sepertiku. Bedanya dia lahir dengan ibu- bapak yang sangat menyayangi, keluarga utuh dengan limpahan kasih sayang.

Kedekatan kami bermula di Lapangan Basket, pertama kali aku latihan memegang bola basket dan menembakkannya ke dalam keranjang.

Sulit.

Aku belum mahir, Basket adalah hal baru bagiku.

Sewaktu SMP aku ikut renang sebagai ekstrakurikuler.

"Pegangan tanganmu salah!" Tegur suara bariton dibelakangku.

Lalu dia datang menghampiri, jemarinya yang panjang, mengkoreksi pegangan bola.

Rasanya langsung nyetrum hingga ke hati saat ia lakukan itu.

Dan teriakan HUUUUUUUUUU terdengar dibelakang kami.

Dia menahan senyumnya.

"Modus....Dipta....... Modus!!!" Teriakan teman- temanku se lapangan terdengar lagi.

Dia gigih.

Tak mundur selangkah pun.

Lagi dia mengajariku, yang sore itu kebloonanku bertambah berkali lipat, entah karena semakin gugup saat ia mendekat.

Tubuhnya tinggi. Jangkung dan dia kokoh.

Nafasnya hangat mengenai leherku, yang hari itu rambutku ku ikat tinggi- tinggi.

Dia sabar. mengurungku, membimbing, memberi contoh, memperhatikan aku, mengoreksi kesalahanku, suaranya lembut.

Wanginya enak, meskipun dia berkeringat. Dia tampan, dengan keringat di dahi, lengannya berkilauan.

Lantas se-sore itu dengan rasa sengatan listrik yang mati- matian ku abaikan, ku beranikan menentang wajahnya yang sangat tampan. Matanya,....ya, matanya terlalu sempurna, jernih, mata yang akan ikut tertawa jika dia tertawa, mata yang terus menatapku meski aku sedang bodoh dan tolol dengan bola basket ditangan.

Lagi dia mengajariku mendribble bola, menembak bola, lantas menembak bola sambil berlari.

Tanpa disadari hanya tinggal kami berdua di lapangan Basket sore itu.

"Rumahmu mana?" Tanyanya ketika kami putuskan menyudahi latihan Basket hari itu.

Ah,..... pertanyaan itu. Ku yakin besok dia tak akan muncul lagi dihadapanku atau pura- pura tak kenal denganku setelah mengetahui rumahku.

"Disekitar sini." Jawabku singkat.

"Sini Mana?" Dia berusaha menjejeri langkahku.

Aku menghela nafas. Lantas menatap wajahnya, mematrikan dia dalam benakku, jika dia semakin tampan dengan peluh di dahi.

"Disana" Telunjukku mengarah pada deretan rumah dinas di belakang lapangan sepak bola.

'Wah enak, deket!! Bisa ku jemput tiap hari!!"

Celetukannya bikin aku kaget. Dia tak keberatan? Dia pasti tahu Bapak angkatku,...Pak Sadikin tukang bersih sekolah.

Lalu dia nyengir. Ku rasa dia tahu.

ARUNI & ARUNDYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang