Simpang Lima

16 3 1
                                    

Kalau dibilang cinta itu buta. Mungkin ada benarnya. Senja menjelang malam itu, Arya Bisma membutakan matanya, menulikan telinganya, karena perhatian beberapa pengunjung yang mengenal dirinya, tentu saja, mengenali Bos besar mereka seorang pebisnis sukses yang memiliki keturunan keluarga kaya raya, dari kakek buyut, kakek, ayah, paman hingga dari sebelah ibu juga bergelimang harta , harus duduk di tenda lesehan di Kawasan Simpang Lima.. Bahkan datang tanpa mobil mewah yang diketahui tak hanya satu di garasi rumah mewahnya, dia malah turun dari sebuah becak dayung yang amat sederhana.

Arya hanya diam saja ketika sekelompok karyawan yang bekerja di perusahaannya mengangguk memberi hormat padanya, ketika mereka berlalu saat mencari tempat duduk.

Kini Arya, duduk bersila, dan dihadapannya, gadis keturunan Belgia tengah mengaduk Es jeruk peras.

Sedemikian besar masalahnya, hingga Arya harus manut dan begitu saja larut dalam permintaan Aruni.

Mereka menanti dua porsi lele bakar yang sedang di kipasi oleh penjualnya.

" Setamat SMA, apa rencanamu?" Tanyanya. Ia lantas menyesap es jeruk peras miliknya.

"Kuliah." Jawab Aruni pendek.

"Mau ambil jurusan apa?" Tanyanya pura- pura tak tahu.

"Kedokteran. Aku pengen jadi Dokter, nanti kalo ada rezeki, mudahan bisa lanjut jadi Dokter Kandungan." Ucapnya dengan penuh keyakinan. Mata biru itu bersinar, semangat menyala di dalam binar matanya.

Arya menarik nafas panjang.

"Aku udah daftar jalur undangan, dua hari lagi pengumuman!! Rasanya nggak sabar!! Mudahan lulus!!"

Sulit bagi Arya ikut mengamini permohonan Aruni.

Benaknya menyusun rencana.

"Seandainya nggak lulus, rencanamu selanjutnya apa?"

Mata biru itu menyeret tatapannya, sinarnya meredup, seolah semangatnya dia rebut.

Kelopak mata Aruni mengerjap.

"Kenapa doanya jelek begitu!!" Ungkapnya kesal.

"Aku pasti lulus, persyaratannya terpenuhi! Nilai raportku tinggi!! Aku juga punya beberapa prestasi yang mendukung! Aku bahkan udah ngajukan beasiswa penuh untuk program itu!!"

"Doaku nggak jelek, maksudku kalo seandainya nggak lulus, lantas rencanamu gimana? Ikut jalur mandiri? Jalur undangan sangat sedikit penerimaannya, Kedokteran sangat disukai, "

"Mandiri?? Biayanya ngeri!!" Sambar Aruni cepat. " Bapak jelas nggak punya uang! Uang pembangunannya aja 500 juta. Bisa- bisa aku jual ginjal, itupun nggak nutup." Lirihnya sedih, Aruni membuang tatapannya ke arah jalan, dimana Simang Lima benar- benar ribut saat senja menjelang malam.

Entah mengapa,..... otak bisnis ku segera bekerja.

"Aku bersedia biayain kamu kuliah, sampe selesai bahkan ambil spesialis!! Jangankan sampe Spesialis, sampe sub konsulen juga bisa! " tawarku terlalu cepat.

Mata Aruni terbeliak. Mulutnya menganga.

Lantas kami terdiam. Pelayan datang.

Hidangan disajikan.

Aruni membasuh tangannya di sebuah kobokan.

Aruni menyuap hidangan itu dengan tangan, tanpa garpu atau sendok, tanpa malu- malu seperti gadis kebanyakan jika ku ajak makan.

Aruni makan dengan lahap, bahkan minta tambahan nasi.

Dalam hati aku tergelak geli.

Gadis ini begitu santai dan tidak terpengaruh sama sekali dengan tampilanku, atau mobil mewahku, bahkan sedari tadi dia tidak bertanya siapa nama ku!!

ARUNI & ARUNDYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang