Aruni Bisma

23 3 3
                                    

Sudah menjadi kebiasaan, jika aku dan Mbak Anjani berada di rumah Mami dan Papi, itu artinya setiap malam Mami akan mengundang kerabat untuk makan malam bersama.

Party Pool.

Taman belakang dengan kolam renang selalu disulap menjadi ajang jamuan, Meja panjang dihias, bunga- bunga, piring, gelas ditata dan diletakkan berbagai hidangan, tempat panggangan dikeluarkan , dengan berbagai olahan daging.

Papi dan Aku selalu kebagian untuk memanggang, dan itu adalah tugasku sedari remaja, Papi mengajari memanggang. steak kesukaan Mami dan Mbak Anjani berbeda.

Seketika aku ingat Aruni juga menyukai hidangan yang dipanggang.

"Kamu mau dagingnya dibumbui dengan apa?"

Aku menatapnya, dan dia mengigit bibirnya terus- terusan, Aruni selalu gelisah jika di rumah selalu ramai dengan tamu.

Dia menarik napas, balas menatapku, " Aku nggak tahu, memangnya ada pilihan apa?" Tanyanya, lalu menatap botol- botol saus yang tersusun rapi di dekat meja grill.

"Ada Peppercorn,Bearnaise,Mushroom sauce, Chimmicuri, Mustard, Gorgonzola."

Aruni mencebik, " Itu hanya nama, aku nggak akan bakal tahu bedanya, tapi seharusnya daging yang dipanggang harus ada rasa gurih, asin, manis, dagingnya juicy nggak kering, seimbang. "

Aku tertawa kecil sembari membalik daging steak yang ku bakar, Papi sibuk dengan grill lainnya terlibat dalam pembicaraan seru dengan suami Mbak Anjani.

"Aku rasa bisa membuatkan steak kesukaanmu, coba cicipi ini!" Aku meraih pisau lantas mengiris daging steak yang baru selesai di panggang.

Aku mengulurkan pisau itu, Aruni meraihnya, memasukkan sepotong daging ke mulutnya, dan dia mengunyahnya. Aku mengawasi wajahnya, dan tersenyum ketika wajahnya berubah senang.

"Enak?"

Dia mengangguk. " Ya ini, enak, sausnya pas, aku pikir nggak akan pernah bisa menyukai menu bakar lainnya selain lele!" Aruni tertawa kecil.

Aku kaget, selama hampir satu minggu menikah, baru ini aku melihatnya nyaris tertawa, aku terpesona dengan senyumnya yang lepas, dan aku menatapnya tanpa kedip. Aruni menatapku juga, ku rasa dia ingat momen saat di simpang lima. Tatapan kami terkunci, dan pandanganku turun ke arah bibirnya. Otomatis aku menelan ludah,...bibirnya selalu merusak konsentrasiku.

Sisa saus masih ada disudut bibirnya, aku mengulurkan telunjuk, menghapus saus itu dari sudut bibirnya. Hanya sedikit menyentuhnya seperti itu saja, ledakan arus listrik menjalar semena- mena,....

Aruni tergagap, lantas membuang pandangannya ke arah yang berlawanan.

"Samuel cepat sekali tidurnya!" Aku mengikuti tatapan Aruni, dia melihat Kakak perempuanku satu- satunya keluar dari pintu rumah dan hanya menggandeng Clayton tanpa adiknya, Samuel yang masih berusia 5 bulan.

"Bayi kerjanya hanya tidur kan?" Aku menggumam dan meraih daging wagyu dengan jepitan.

"Clayton berapa sih umurnya Mas?"

"Tiga, eh empat,..."

"Ck, keponakan sendiri kenapa nggak inget?"

Aku tertawa kecil, " Empat sepertinya."

"Badannya gede ya, setahuku empat tahun seharusnya nggak segede itu."

"Bapaknya bule, wajar aja dia kelihatan bongsor, Mbak Anjani juga tinggi."

"Heem, Mbak Anjani tinggi."

"Sama kamu juga." Jawabku

"Karena kamu juga setengah bule." Tambahku

ARUNI & ARUNDYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang