dr. Arundya Bisma

58 4 65
                                    

Setelah Kepaniteraan Klinik selesai, aku pun di wisuda. Aku mengingatnya sebagai hari paling emosional. Melihat Papa pergi ke makam Mama pagi- pagi buta sebelum matahari tebit, melihat Eyang berulang kali mengusap matanya, padahal dua cucu laki- lakinya di NY mendapat gelar jauh lebih hebat

"Mama pasti bangga sama kamu, Sweetie." Ucapnya penuh haru, Dia membantu Mom mengenakan aku kebaya biru pucat berlengan pendek dengan brokat dan bordir yang cantik.

Mungkin bukan karena gelar Dokternya, tapi karena ini adalah cita- cita Mama yang kandas. Karena aku hadir di tengah- tengah perjalanannya.

Aku menatap Papa yang menatapku juga saat menuruni tangga, terpaksa harus melangkah hati- hati karena kain yang dibelit oleh Eyang membuat langkahku semakin terbatas. Mom menggandeng tanganku, lalu Papa mengulurkan kotak perhiasan.

"Ini punya Mama, dia kenakan untuk acara- acara tertentu." Ucapnya.

Mom meraih kotak itu lalu membukanya, mereka berdua berseru. " Eyang ingat Mama kenakan earing ini saat ulang tahun Papa."

"Waktu Pesta Dansa juga." Ucap Mom lalu mengenakannya ditelingaku.

"Saat kami bulan Madu di Swiss juga." Tambah Papa.

Aku tersenyum, earing ini penuh kenangan, pasti tak mudah bagi Papa untuk melihatnya kembali.

"Terimakasih Pa." Aku meraba anting panjang bertabur berlian itu ditelingaku.

"Cucu Eyang luar biasa cantik!" Eyang Bisma maju lantas mengecup keningku. Usianya sudah hampir 80, tapi masih kuat untuk perjalanan panjang. Mata abu- abu gelapnya tersenyum, ini bukan karena sebuah gelar,... tapi karena mereka mengingat Mama , seharusnya Mama juga punya momen seperti hari ini.

Dad meraihku dalam pelukannya, mata hijaunya menatapku haru, aku balas memeluknya, Wajahnya mendekat dia hendak menciumku," Dad, jangan rusak rambut dan wajahku!"  dia tertawa , mengabaikan peringatanku, dan mencium kepalaku.

" Waktu rasanya terbang Cupcake! Dad masih ingat mengganti popokmu, membuatkanmu susu, menggendong dan menyanyikanmu lagu!"

"Membuat telingaku sakit!" Sambar Mom. Aku tergelak, begitu juga Eyang, tapi tidak dengan Papa. Aku menoleh saat dia berjalan paling belakang.

Aku melepas gandengan Dad, menunggu Papa, dan dia menatapku. " Maaf Papa terlalu lama mengabaikanmu." Ucapnya sendu.

Aku tersenyum, menyelipkan tanganku di lengannya, meskipun tubuhnya berubah kaku. " Nggak apa Pa, sudah berlalu. Aku disini, Papa juga, kita berhasil sampai hari ini." Papa menatapku. " Kamu  keajaiban untuk hidup Papa Arundya." Bisiknya.

Aku tersenyum senang mendengarnya.

-

-

Saat presenter Acara menyilahkan aku bicara sebagai perwakilan dari teman- teman yang di wisuda hari ini, aku melangkah ke podium hati- hati, khawatir kain yang dipasang Mom dan Eyang membuatku terjungkal, ditambah sepatu hak bertali tinggi dari Gianvitto Rossi yang dihadiahkan Mom untuk pasangan kebayaku membuat kecemasan bertambah ketika menaiki undakan tangga.

Aku menemukan Mahen diantara kursi para undangan, mata hazelnya terlalu lekat menatap wajahku, aku menunduk untuk memutuskan tatapannya. Tersenyum ke arah para Supervisor yang lain, Mahen terus memperhatikanku,  meskipun selama satu minggu ini aku membentangkan jarak untuknya. Jam tangan Cartier Tank yang dia hadiahkan dengan kartu bergambar hati membuatku berfikir berulang kali untuk menerima ajakan makan malam atau pertemuan di luar Rumah Sakit.

Aku mendekatkan microphone sebelum bicara, menatap ke barisan keluargaku yang tampak bahagia, Papa berulang kali memijat pangkal hidungnya yang tinggi, Eyang tersenyum , Mom mengusap matanya berulang kali.

ARUNI & ARUNDYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang