Setelah bertanya pada Naya melalui telepon di mana letak ruang rawat Navy, Raden langsung menuju ke ruangan tersebut. Langkah Raden tampak pelan dan pandangannya sayu. Perkataan Dokter Senja mengenai kondisi kesehatan Navy membuat Raden merasakan penyesalan yang amat mendalam.
Banyak kalimat andai yang terbesit di otaknya, membuat perasaan sesal itu kian dalam. Andai saja ia tahu lebih awal mengenai kesehatan Navy, akankah Navy dapat memiliki kesempatan sembuh yang lebih besar? Andai saja ia langsung menemui Navy saat anak tersebut mengatakan ia tengah sakit. Andai saja Raden selalu berada di sisi Navy, hal seburuk ini tidak akan terjadi.
Tak dapat Raden bayangkan bagaimana hancurnya Navy saat mendengar diagnosis dokter seorang diri, bagaimana hancurnya Navy saat kabar tersebut datang ketika ia masih dalam keadaan berduka. Raden bahkan tidak sanggup hanya untuk sekadar membayangkan, bagaimana jadinya jika ia yang harus menjalankan?
Perasaan kecewa pada dirinya sendiri karena telah gagal menjadi sosok ayah bagi Navy benar-benar membuat Raden merasakan sesak di dadanya. Andai saja ia tidak egois, andai saja ia bisa lebih tegas melawan papinya, andai saja ... ia tidak meremehkan semua pesan yang Navy kirim.
Maafin Papa, Nav, maaf ... Papa jahat banget sama kamu, batin Raden. Tangannya bergerak membuka pintu ruangan yang dikatakan Naya sebagai ruang rawat Navy.
Begitu memasuki ruangan tersebut, ia dapat melihat Jena, Archer, dan Naka yang sudah tertidur di sofa yang cuku jauh dari ranjang Navy. Di sebelah ranjang Navy sendiri ada Naya yang tengah membaca ayat suci Al-Quran melalu aplikasi di ponsel pintarnya.
"Ma," panggil Raden karena Naya sama sekali tidak sadar akan kehadirannya.
Naya menolehkan kepalanya dengan terkejut, lalu tersenyum saat mendapati keberadaan Raden di sana. "Udah salat, Pa?" tanya Naya.
Raden menganggukkan kepalanya. "Sudah tadi setelah dari ruangan dokter."
Naya mematikan ponselnya, kemudian menatap netra Raden yang tampak lelah. "Gimana kata dokter, Pa?"
Raden menundukkan kepalanya, kemudian duduk di satu kursi kosong yang ada di sebelah Naya. "Dokter bilang ...," Kalimat tersebut keluar dari mulut Raden dengan penuh keraguan. Saat pria itu hendak kembali membuka mulut, suara Naka yang memanggilnya membuat ia mengalihkan pandangan.
Naya pun melakukan hal yang sama. "Loh, kok, bangun?" tanya Naya saat sang anak menghampirinya.
Naka memeluk tubuh Naya. "Denger suara Papa," jawabnya lesu.
Raden berusaha tersenyum saat Naka menatapnya. "Ma, Nathan sama Ace sekalian dibangunin juga, ya? Papa butuh saran kalian semua."
Menyadari situasi cukup serius, Naya pun tak menolak. Sebelum berdiri menghampiri anak-anaknya yang masih tidur, Naya lebih dulu membenarkan selimut yang membalut tubuh Navy sebatas perut.
Raden bangkit dari duduknya, meski ragu ia mendekati ranjang Navy bergantian dengan Naya. Pria itu mengusap wajah pucat Navy, menatap iba pada pemuda tersebut. "Sakit, ya, Nav? Maaf karena Papa datang terlambat," Meski canggung, Raden memajukan tubuhnya, mendekat pada Navy dan mencium kening Navy beberapa detik, lalu kembali mengangkat kepalanya. "Cepet sembuh, Nav, banyak hal yang harus Papa lakuin buat tebus kesalahan Papa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth [TERBIT]
RandomNavy hanya ingin hidup seperti remaja pada umumnya. Bermain, belajar, dan menikmati hidup. Namun, takdir berkata lain, Navy hidup hanya untuk merasakan kehilangan dan kesepian. "Pa, tolong pulang sebentar saja. Demi Mama." - Navy Balveer Danendra Na...