BAB 31: Antagonis yang Sesungguhnya

1.1K 88 35
                                    

"Anak itu cuma beban, Ma! Kamu lihat, gara-gara dia kita jadi bertengkar terus, kan?" 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Anak itu cuma beban, Ma! Kamu lihat, gara-gara dia kita jadi bertengkar terus, kan?" 

Begitu memasuki rumah, pemandangan pertama yang ia lihat adalah Raden dan Naya yang tengah berdebat di ruang tamu. Jena menghela napas, berdiri diam sembari melihat pertengkaran kedua orang tuanya.

"Aku marah sama kamu bukan karena tau dia anak kamu, Pa! Aku marah karena kamu yang ga mau ngakuin dia!" Naya berteriak marah sembari menunjuk wajah Raden yang balik menatap Naya tajam.

"Aku cuma ga mau keluarga kita hancur, Ma! Kamu ga tau apa-apa! Aku lakuin ini semua juga demi kebaikan dia!" balas Raden, wajahnya memerah karena emosi yang meluap.

Naya tertawa sarkas, menatap tak percaya pada suaminya. "Kebaikan kamu bilang? Kebaikan dari mana kalau kamu malah nyiksa batin anak kamu sendiri!"

Raden mengusap wajahnya dengan frustrasi, lalu memegang tangan Naya yang terkepal erat. "Ma, aku tetep bertanggung jawab sama Navy, aku tetep nafkahi dia, Ma."

"Tapi kamu biarin dia tinggal sendirian padahal umurnya masih sekecil itu! Kamu ga kasihan lihat anak kamu? Darah daging kamu sendiri, Pa!" Air mata Naya tumpah saat bayangan betapa menyedihkannya kisah Navy yang ia dengan dari Archer kembali terlintas di benaknya.

"Ma, Papa punya alasan." 

"Apa? Dari kemarin aku tanya apa alasannya kamu sama Nathan ga pernah jawab, gimana aku mau ngertiin kalian?" Naya melepas genggaman tangan Rade, kemudian mengusap pipinya yang tela basah oleh air matanya.

Saat keduanya akan kembali beradu mulut, suara Jena yang memanggil mereka terdengar, mengalihkan atensi sepasang suami istri tersebut.

"Ma, Pa ... Kakak mohon, jangan bertengkar terus," lirih Jena dengan tatapan kosong dan suara bergetar.

Naya mengalihkan pandangan, tak sanggup melihat Jena yang tampak hancur karena kedua orang tuanya yang tak berhenti cekcok sejak beberapa hari yang lalu.

"Kamu masuk ke kamar Nathan," titah  Naya, tanpa mengalihkan pandangannya ke arah Jena.

Jena menggelengkan kepalanya. "Enggak, aku ga akan masuk ke kamar kalau Mama sama Papa masih bertengkar."

"Papa sama Mama cuma lagi diskusi, Nathan," ujar Raden yang berusaha memberi pengertian pada anaknya.

Jena terduduk lemas, ia terkekeh, menatap netra papanya yang berair. "Papa kira aku Jena yang bakal percaya sama bualan Papa? Aku Nathan, Pa, bukan lagi Jena yang bakal percaya kayak dulu!" teriaknya marah. "Aku capek tau ga? Kalian selalu bertengkar, aku capek!"

"Nathan, kami ga bertengkar ...." Naya berjalan mendekati Jena, kemudian memeluk erat tubuh anaknya yang bergetar karena rasa trauma yang kembali muncul ke permukaan.

"Papa juga bilang gitu waktu sama Mama Sesil, tapi akhirnya apa? Mereka pisah, Ma, Nathan ga mau kalau harus ngerasain rumah Nathan hancur untuk ke dua kalinya." Suara Jena yang bergetar membuat Naya tidak tega, ia memeluk erat tubuh putra tirinya, berharap pelukan itu dapat memberi sedikit ketenangan.

Hiraeth [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang