prolog

560 73 22
                                    

Hai!Redum aku publish ulang!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hai!
Redum aku publish ulang!

Tolong beri banyak cinta!

Happy Reading!
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Taehyung menggeser pintu masuk flat kecilnya hati-hati. Napas di paru-paru ia tahan mati-matian di kerongkongan hingga bunyi 'ceklek' kecil yang ia hindari terdengar begitu  tangannya melepas knop pintu, mata pemuda delapan belas tahun itu mengerang tertahan. Dapati hampir seluruh lampu rumah sudah padam, sambil mengawasi keadaan sekitar pemuda itu mulai melepas jaketnya yang sudah terasa begitu berat di bahu lantaran menggelayut seharian, ditambah beberapa luka di badan yang terasa remuk redam. Dibiarkannya kain itu teronggok di sudut pintu sebelum ia tinggalkan bersama sepasang sepatunya sebagai teman.

Baru dua langkah kakinya berpijak memasuki ruang tamu yang juga menyatu dengan dapur dan ruang tv, kaki pegal pemuda itu kontan memaku di tempat begitu lampu tiba-tiba menyala terang. Menyihirnya jadi patung dengan segenap rasa takut yang memacu cepat detak jantungnya. Di ambang pintu kamar, Taehyung melihat seorang perempuan yang sedang menggendong bayi usia dua belas bulan sebagai pelakunya. Memasang wajah datar yang menyeramkan. Menangkap basah dirinya.

"Kalian belum tidur?" sapa Taehyung dengan lidah yang tiba-tiba kelu. Baru tersadar ada bayi mungil dalam gendongan perempuan itu. Tengah menggeliat gelisah sebelum sebuah rengekan lemah terdengar.

Segenap emosi dari luar yang ia bawa pulang seketika luluh lantak digantikan perasaan iba dan sayang. Gadis kecil itu mulai menangis dengan suara parau isyarat lelah sehingga Taehyung mendekat. Berusaha menggapai tubuh gembulnya yang tak sekencang biasanya. Ingin menenangkannya sebelum sebuah telapak tangan menodong tepat di depan wajah hingga Taehyung kembali terpaku di tempat.

"Menang?" tanya perempuan itu dengan nada mencecar.

Pemuda itu mengetatkan rahang. Tatapannya setajam pedang. "Ruby menangis. Mungkin dia mengantuk. Kau tidak berusaha menidurkannya selagi aku belum pulang?" sahut Taehyung menghindari pertanyaan sebelumnya dengan kembali mencoba meraih anak gadis yang selalu mampu merontokkan segala jenis lelahnya itu ke dalam gendongannya. Namun, telapak tangan dari ibu si bayi itu kembali menahannya.

Taehyung meradang. Nyaris ia meledak di hadapan Ruby yang belum mengerti betapa jengahnya Taehyung atas sikap perempuan itu kali ini.

"Ada apa, sih?" Nada bicaranya mulai meninggi. Dia nampak bisa melahap hidup-hidup siapa saja sekarang termasuk perempuan ini.

"Kau bertanya ada apa?"

Namun, darah perempuan itu nampaknya tak kalah mendidih. Mata membelalak dengan kemilau yang menyampuli serta rahang yang senantiasa dikatupkan itu sudah cukup menjelaskan betapa lebih marahnya ia dari pada Taehyung sendiri.

"Kau yang seharusnya bertanya pada dirimu sendiri! Ada apa dengan isi otak kepalamu sampai kau mengabaikan puluhan panggilan teleponku, setelah janji-janji busukmu sebelum pergi, bahwa kau akan menemaniku membawa Ruby ke dokter. Tapi hei! Kau baru pulang? Kau tidak lihat jam berapa sekarang? Jam dua pagi, Kim Taehyung? Sudah berapa lama kau pikir Ruby menahan demamnya? Dan kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan di luar hingga setega itu mengabaikan kami?"

Pertanyaan itu terdengar seperti sebuah ancaman untuk Kim Taehyung. Meski jelas perempuan itu tidak akan melanjutkan kata-katanya karena mungkin terlalu sakit untuk diingat. Wajah Taehyung melunak. Sebagian kegelisahan mengiringi langkahnya mengikuti ibu dari si bayi yang tak ia sangka-sangka kini menarik sebuah koper dan juga menenteng tas keperluan si bayi keluar rumah.

"Jennie, ini jam dua pagi. Mau kau bawa ke mana Ruby?" rengeknya seperti pria culun yang sedang ditindas.

"Tidak tahu," sahut perempuan itu ketus. "Yang pasti tidak di sini lagi karena ayah Ruby sudah tidak peduli padanya."

"Jennie—"

Kemudian drama yang memuakkan bagi perempuan itu dimulai lagi. Taehyung yang tiba-tiba bersimpuh memohon di bawah kakinya sambil memasang wajah melas yang membuat Jennie ingin muntah. Apa Taehyung pikir kali ini Jennie juga akan goyah seperti sebelum-sebelumnya? Setelah alur tipuan ini ia hafal di luar kepala?

Enak saja.

"Maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf," kata Taehyung lagi memohon. Masih memeluk kedua paha Jennie erat. Enggan membiarkan perempuan itu melancarkan aksinya untuk pergi.

Jennie menggigit bibir bawahnya hingga sakit. Netranya semakin merah. Gelembung air nampak segera pecah dari sana. Bahkan ketika perempuan itu memaksakan diri berujar, suaranya bergetar hebat.

"Kupikir maaf itu artinya berjanji tidak akan mengulanginya lagi, Tae, tapi ... maaf bagimu itu apa?" Lantas tangis perempuan itu pecah. Bersahutan dengan rengekan Ruby dalam dekapannya. Menambah sakit di ulu hati. Memicu makin derasnya cucuran air mata juga isakannya.

"Jennie ..." Pemuda itu kehilangan kata-kata selain dadanya yang mulai terasa nyeri melihat dua perempuan yang mengisi hari-hari setahun terakhir ini berlomba menangis di hadapannya.

"Aku lelah, Tae. Andai aku tahu hidup bersamamu akan semelelahkan ini, aku tidak akan pernah mau kau ajak tinggal di sini. Lebih baik aku titipkan Ruby ke panti asuhan," bergetar hebat. Jennie bahkan ragu ia mengerti ucapannya sendiri karena seluruh kalimatnya tenggelam dalam air mata. "Kalau susunya habis, dia tidak perlu minum air mineral sampai perutnya kembung. Kalau sakit, dia tidak perlu menunggu ayahnya mencari pinjaman yang ujung-ujungnya dia gunakan untuk hal lain yang katanya lebih penting bahkan dari hidupnya sendiri. Kalau begini terus ... anakku bisa mati, Tae!" Jennie menjerit kuat. Histeris. Segenap perasaan kecewa yang ia tumpuk di dada sekian lama melesat keluar meminta pembebasan layaknya kotak pandora yang berlomba menikam Taehyung dengan segala rasa sakit yang Jennie pendam. Melukai perasaan Taehyung hingga pemuda itu tidak punya kata-kata untuk diucapkan selain membenarkan dirinya sebagi pihak yang paling tidak masuk akal.

Dia salah. Dia bersalah.

"Membesarkan Ruby akan lebih mudah kalau kita saling cinta, iya 'kan? Bukannya aku tidak bisa menyukaimu, tapi kau .... Kau yang tidak berusaha mencintaiku," tutup perempuan itu.

Maka Taehyung tidak bisa mengatakan apa-apa lagi dan tetap bersimpuh di depan pintu setelah Jennie meronta dari pelukannya dan melesat pergi menyisakan bunyi 'blam' menandakan bahwa pintu telah tertutup. Seperti kesempatan untuknya juga.

Jennie sudah pergi meninggalkan Taehyung bersama Ruby.

Liu_

REDUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang