15. Terima Kasih

135 30 18
                                    

Hujan turun di luar.

Beberapa orang membutuhkan air untuk mendinginkan kepala yang nyaris meledak karena terlalu panas memikirkan masa depan. Namun, mereka sejujurnya tidak paham bahwa tidak selalu rasa dingin yang dapat dengan capat mengurangi rasa sakit. Mereka lebih butuh kehangatan. Hanya saja ini bukan tentang air.

Jennie di dalam mobil ayahnya yang baru, duduk sendirian di bangku belakang merasa diasingkan. Sepulang dari dokter obgyn terkenal itu ayah dan ibunya semakin uring-uringan. Kepala keluarga itu menyetir dengan ugal-ugalan. Sang ratu nampak termenung lesu di kursi sebelahnya. Belum juga usai menangisi kecerobohan putri kebanggaannya.

Dada Jennie terasa sesak. Paru-parunya semakin panas dan perih. Sekujur tubuhnya belum berhenti bergetar. Ia takut. Ia takut bertemu besok. Ia berharap waktu berhenti. Ia ingin kembali ke hari yang mana saja asal bukan hari ini. Jika pun harus mengulang kemarin, tidak apa-apa. Ia membutuhkan ketenangan sehari lebih lama agar bisa berpikir. Meski sungguh ini buntu. Serasa tembok mengepung setiap sisi dan siap menghimpit tubuh ringkihnya.

"Setelah ini masuk kamar dan istirahat. Kau tidak diizinkan keluar rumah hingga Minggu depan."

Baru saja mobil berhenti di halaman depan dan Jennie mendengar lagi ayahnya bicara setelah membisu sepanjang perjalanan pulang. Ibunya bergegas turun. Cepat-cepat melesat lantaran takut tubuhnya termakan hujan. Wanita itu mengabaikan Jennie sejak tadi. Bahkan ia bersikap seolah Jennie memiliki borok menjijikkan dan tak pantas dipandang. Wanita itu sibuk terpuruk. Lupa bahwa Jennie juga perlu dipeluk. Dia korban. Dia juga tidak pernah menginginkan ini.

Menyusul kedua orang tuanya turun dari mobil, Jennie kemudian terdiam seusai pintu mobil dibantingnya keras. Membiarkan air hujan memakan habis dirinya. Memandang nanar kedua orang tuanya yang bersisian menuju rumah, air matanya kembali tumpah. Perasaan malu dan sedih merongrong di dalam dadanya. Sakitnya tak tertahankan. Bahkan sekarang tak ada yang mempercayainya. Tak ada yang peduli padanya. Tidak ada lagi yang menggapai tangannya. Mulai hari ini dia harus melangkah melewati jalanan yang berduri seorang diri. Tanpa orang-orang yang ia pikir akan mengulurkan tangan ketika ia jatuh.

"Apa sekarang aku tidak lagi berguna?"

Masih mengamati kedua orang tuanya hingga mereka membuka pintu rumah, entah apa yang ada dalam pikirannya, Jennie tiba-tiba berlari pergi. Meninggalkan rumah. Juga ayah dan ibunya yang mulai berteriak memanggil namanya.

Hanya sebentar. Suara mereka dengan cepat teredam hujan. Atau ... hilang karena tidak lagi mengejar.

Entah apakah Jennie memang ingin dikejar karena nyatanya ia takut. Ia takut bertemu dengan ayahnya dan kembali dihukum. Yang paling ia takuti, ia harus aborsi Minggu depan. Mereka mengatakannya dengan sangat santai. Mereka menggambarkannya semudah memetik bunga di taman. Bagaimana jika itu mawar? Ia memiliki duri yang sakit jika tertancap. Janin itu mungkin tidak memiliki duri yang tajam. Namun, membunuh makhluk yang tidak berdosa itu mungkin akan membuat Tuhan marah. Dia bisa saja menebarkan duri di sepanjang hidup Jennie karena gadis itu melakukan aborsi dengan perasaan tenang.

Akan tetapi bisakah Jennie melanjutkan hidup tanpa ayah dan ibunya? Apa yang harus ia pilih sekarang? Melanjutkan masa depan dengan perasaan yang dihantui ketakutan seumur hidup atau mempertahankan bayi itu dan siap dengan segala cemooh dan diskriminasi yang ada?

Lama berlari dalam guyuran hujan, Jennie akhirnya berteduh di sebuah jembatan penyeberangan. Meringkuk bersandar sambil menggigil.

Dingin. Takut. Lebih dari itu perasaan yang berkecamuk di hatinya begitu menyiksa. Ia rasanya akan gila. Sekuat apa pun ia bertanya pada hati nuraninya, Jennie hanya menemukan kebuntuan.

***

Kembali tamparan itu melayang dan kembali pula Taehyung berusaha menapakkan kakinya dengan kuat, jangan sampai tumbang.

REDUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang