11. Jiwa yang Terkekang

166 26 11
                                    

Lama sekali Jennie menunggu. Selama itu pula Taehyung menimbang. Gadis itu tak berani menegur karena Taehyung nampak larut dalam kemelut di dalam kepalanya sendiri. Pikiran dalam otaknya mungkin saja terlalu berserakan. Dia menatap kosong sejak mereka duduk bersama di bangku taman. Sekolah telah sepi. Pemuda itu sempat menghela napas panjang sekali sebelum akhirnya tidak memberikan reaksi untuk Jennie yang cemas menanti.

"Bagaimana kalau kita ke dokter saja?" tanya Taehyung kemudian.

Keduanya saling bertatapan. Taehyung kembali menemukan tumpuan pandangannya, wajah Jennie. Namun, kekalutan di wajah tampan itu hanya makin kentara. Jennie memicingkan mata. Rona wajahnya berangsur memerah. Garis alisnya menukik tinggi sekali.

"Kau gila? Kau ingin lebih banyak orang tahu?" sewot Jennie menolak mentah-mentah ide Taehyung.

Pemuda itu kembali menghela napas. "Bukannya akan lebih akurat kalau kita pergi ke dokter? Kau yang bilang sendiri merasa kurang enak badan. Kalau ternyata kau hanya sakit biar bisa diberi resep," tutur Taehyung.

Jennie yang sejak awal mencoba berpikir jernih dan berusaha menyangkal kemungkinan terburuk dari kondisinya sekarang tidak tahan lagi. Ia lelah dan terlihat akan menangis. Namun, berakhir tidak melakukan apa-apa kendati ia ingin menyalahkan pemuda di hadapannya. Memukul kepalanya sampai putus kalau bisa. Karena meski Taehyung sudah memberinya alasan kenapa harus Jennie yang pemuda itu gauli malam itu, Jennie masih tidak mengerti.

"Kenapa kau bicara semudah itu? Saat ini aku bahkan takut untuk berpikir ...." keluh Jennie.

"Kalau kau  hamil ... apa yang harus kita lakukan?" tanya Taehyung kemudian.

"Tidak tahu," sahut Jennie putus asa.  Dia benar-benar dihadapkan pada kebuntuan.

Tak lama, pemuda itu bangkit berdiri sehingga Jennie mengangkat pandangan. Penasaran dengan apa kiranya yang akan Taehyung lakukan ketika pemuda itu menatapnya dan mengulurkan tangan.

"Aku sudah berjanji akan bertanggung jawab, jadi mari pastikan bersama. Kita akan membeli testpack," kata Taehyung kemudian.

Kalimat-kalimat Taehyung masih seperti magis. Meski gemetar di tubuh dan debaran di jantung masih tidak tertahankan, paling tidak Jennie sedikit tenang karena ia menghadapi ketakutannya dengan tidak seorang diri. Ia bahkan menaruh kepercayaan bahwa jika saja kemungkinan terburuk terjadi, pemuda ini tidak akan melepaskan tangannya. Dia akan membuktikan kata-katanya. Bolehkah Jennie sepercaya ini?

Mereka kembali membelah jalanan dengan motor besar Taehyung. Kemelut di kepala membuat pemuda itu melajukan motornya dengan kecepatan penuh. Kuda besi itu meliuk-liuk menyalip kendaraan lain satu demi satu. Semakin terdepan. Semakin melesat cepat layaknya peluru yang ditembakkan. Anehnya, Jennie tidak merasa takut. Ia menyandarkan kepalanya yang sedikit pening di punggung Taehyung. Pandangannya kosong. Bahkan sekelebat pikiran di kepalanya berkata bahwa jika sepeda motor yang Taehyung kemudikan menabrak sesuatu pun tidak apa-apa.

Jika ia mati, tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan.

Namun, hanya selang beberapa detik setelah pikiran itu masuk ke dalam kepalanya, Jennie memukul-mukul punggung Taehyung meminta pemuda itu menepikan motornya. Taehyung yang sigap dan peka dengan kode yang Jennie berikan langsung menepi. Setelahnya ia melihat Jennie yang terburu-buru berlari ke semak-semak. Di sana ia melihat perempuan itu muntah. Muntah yang luar biasa sehingga ia cemas.

Rencananya Taehyung ingin mengajak Jennie untuk membeli testpack di daerah yang jauh dari sekolah. Meminimalisir pertemuan dengan orang-orang yang mengenal mereka. Namun, nampaknya Jennie tidak sanggup pergi jauh. Terlalu banyak yang keluar dari perut kecil itu dan sekarang Jennie nampak lemas. Saat Taehyung kembali menemuinya setelah dapatkan air minelar untuk minum, gadis itu masih nampak bergetar. Yang nampak mencolok adalah jemarinya di pangkuan. Selagi ia menunggu Taehyung kembali, Jennie nampaknya asyik melamun.

REDUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang