1. Terlalu Cepat

250 37 18
                                    

Mengapa mimpi mereka berbeda?

Hari itu tidak ada badai salju kendati musim dingin masih menyisakan kepingan-kepingan terakhirnya. Matahari eksis menunjukkan presensinya seakan salju-salju yang disisakan hujan kemarin akan dibabatnya habis dalam sehari saja. Tidak mendung, tak juga panas. Cuaca yang cukup bersahabat untuk seseorang yang gelisah di hari pertamanya masuk SMA.

Jangan terlalu kagum pada sesuatu, jangan memujinya setinggi langit. Nanti ia cepat rusak. Nanti ia tiba-tiba berubah. Seseorang pernah berkata demikian dan sesuatu mungkin mendengar pujian yang Jennie rapalkan dalam hati untuk harinya yang bahkan belum ada setengahnya dimulai. Sang ayah di kursi kemudi baru saja mengeluh bersamaan berhentinya mobil yang mereka tumpangi di pinggir jalan yang setelah Jennie amati, mereka belum sampai di sekolah.

Jennie dengan cepat tahu bahwa mobil ayahnya memang sudah tidak lagi mau bersusah payah mengangkut mereka mengingat usianya yang cukup tua. Ayahnya bersikeras tak mau mengganti yang baru kendati uang tabungan keluarga sudah lebih dari cukup untuk membeli yang lebih bagus. Sekarang pria paruh baya itu hanya bisa mengeluh karena mobilnya hanya mengeluarkan batuk saat gas diinjak.

"Mobil Ayah sepertinya perlu reparasi lagi. Kau tidak apa-apa 'kan naik taksi sendiri?"

Jennie yang sejak awal sudah bersiap-siap mengangguk kecil sebelum melepas sabuk pengamannya dan membuka pintu mobil. Tak lupa memberi ayahnya pesan sebelum ia keluar.

"Beli mobil yang baru sebelum uang reparasi yang Ayah keluarkan untuk mobil ini setara dengan membeli mobil baru."

"Kita lihat dulu nanti. Hati-hati di jalan."

Wajah khawatir ayahnya adalah apa yang Jennie lihat sebelum ia menyetop taksi yang lewat. Ia harus bergegas sebelum kemacetan tak bisa dikendalikan. Terlambat di hari pertama adalah alamat sial dan Jennie menolak itu. Narasi di awal sangatlah menjanjikan untuk alur harinya yang baik. Namun, jika sudah begini apa hari pertamanya masuk SMA akan berjalan mulus?

Harusnya iya. Jennie bukan gadis yang aneh ataupun neko-neko. Dia baik-baik saja di masa SD hingga SMP. Dia murid pintar. Langganan menjadi juara kelas. Biarpun cantik, tak pernah ada kasus di mana ia berurusan dengan anak lelaki hingga kisahnya terbawa ke mana-mana. Jennie benar-benar definisi gadis baik-baik dari keluarga baik-baik pula. Ya ... kecuali fakta bahwa ayahnya sangat pelit.

Bersyukur, Jennie tak perlu menunggu. Sebuah taksi berhenti di hadapannya selagi ia masih melihat ayahnya menghubungi orang bengkel. Tak mau terjebak macet, ia buru-buru masuk. Namun, baru ia duduk dan hendak menutup pintu taksi, seseorang menahannya dari luar. Tiba-tiba saja seseorang masuk dan mau tidak mau Jennie beringsut ke pintu yang lain. Memperhatikan seseorang yang baru saja menyuruh sopir taksi untuk segera tancap gas dengan jantung melonjak-lonjak dan wajah diliputi teror.

Apakah taksinya sedang dibajak?

Masih dalam keadaan membeku lantaran kaget juga ketakutan, seorang pemuda yang kini duduk tenang di sampingnya tiba-tiba menoleh menjadikan ketakutan yang mendera Jennie bertambah-tambah. Meski faktanya pemuda itu berwajah tampan, Jennie tidak melihat sebuah keramahan. Pemuda ini bertampang preman.

"Kita satu sekolah. Aku hanya menumpang," katanya dengan angkuh.

Barulah Jennie memperhatikan dan baru menyadari jika seragam yang pemuda ini kenakan sama dengan seragam anak lelaki dari sekolahnya. Namun, melihat penampilannya yang kurang rapi, juga sikapnya yang buruk, nampaknya dia adalah senior sehingga Jennie hanya berusaha tetap tenang. Paling tidak karena pemuda ini ia takkan salah memberikan alamat.

Tapi ... apa memang akan berjalan semudah itu?

Meski tahu pasti ke mana tujuan taksi yang ia tumpangi, Jennie tidak mampu merasa tenang di tempat duduknya. Dia menahan napas dengan jantung yang berisik. Kakinya tiba-tiba kram karena memutuskan tidak bergerak sedikit pun untuk mengubah posisi duduknya yang tak nyaman. Namun, ia masih berani curi-curi pandang kepada pemuda di sampingnya yang duduk dengan mencondongkan tubuhnya ke depan mengawasi jalanan seolah tidak sabaran.

REDUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang