19. Makan Siang

134 27 17
                                    

Gadis itu menangis lagi.

Taehyung tahu situasi seperti ini pastinya akan ia hadapi, imbas dari pilihan ekstrim yang ia ambil. Hanya saja Taehyung tidak berpikir akan secepat itu lantaran ia baru kembali ke kontrakan pukul tiga pagi. Jennie masih terjaga menunggunya pulang. Sungguh Taehyung tidak sampai berpikir Jennie sekuat itu.

"Sudah. Kita tidur saja."

Dipaksanya turun jemari Jennie yang semula menari-nari menyebarkan rasa sakit di permukaan wajahnya. Ditahannya tangan itu yang coba memberontak. Dibaliknya tubuh bergetar itu agar memunggunginya. Taehyung sungguh tidak tahan melihat tangisan Jennie yang tak kunjung mereda. Namun, memaksa diri mengobatinya.

Kini dipeluknya erat tubuh mungil itu. Dibenamkannya kepalanya yang lelah di atas pundak Jennie yang naik turun. Perasaannya sedikit lega lantaran di saat begini ada tempat yang bisa ia sandari. Baru tersadar hal terbaik yang perlu ia lakukan ketika hati gundah adalah memeluk sesuatu yang membuatmu merasa nyaman. Dan siapa sangka bahwa bahu Jennie akan senyaman ini.

"Kalau ini begitu sulit untukmu ... aku akan pulang saja. Aku akan kembali kepada kedua orang tuaku," cicit Jennie di tengah isakannya yang tak kunjung reda.

Mendengar kalimat itu, Taehyung memeluk  Jennie makin erat. Semakin erat pula jeratan tangannya pada tangan-tangan Jennie yang coba memberontak. Sampai kemudian tangan pemuda itu merambati perutnya, tangis Jennie kembali pecah. Hanya saja tenaganya tiba-tiba seakan menguap. Ia membiarkan Taehyung menyentuh perutnya dan memberi usapan-usapan lembut di sana.

"Dengan kau berkata demikian, itu berarti aku gagal. Aku tidak berguna. Seperti kata Kakak dan Ayah, aku hanyalah seorang pengecut yang tidak bisa apa-apa," kata Taehyung.

"Bukan begitu maksudku ..."

Jennie membalik badan. Kini temukan Taehyung yang setengah putus asa tak lagi menahannya.

"Jadi bisakah kau bertahan? Aku berjanji tidak akan terluka lagi. Aku berjanji tidak akan membuatmu khawatir lagi."

Tangis Jennie pecah. Ia yang semula menangis dengan menahan isakannya kini mengeluarkan semuanya. Dia tersedu-sedu layaknya balita yang tak dituruti kemauannya. Maka Taehyung pun panik. Ingin menenangkannya namun bingung harus melakukan apa. Pelukan sudah tidak mempan. Gadis itu malah makin histeris.

"Aku hanya ingin kau pulang tepat waktu .... Aku hanya ingin makan siang bersamamu .... Kau bilang akan menengokku .... Aku menunggumu .... Aku mengkhawatirkanmu ...."

Napas Taehyung akhirnya berembus lega. Sebelum ini ia berpikir bahwa mungkin Jennie akan menyerah menghadapinya dan memaksa pulang. Namun, ternyata memang Taehyung yang tidak peka. Gadis ini hanya kesepian. Namun, suara tangisan itu tetap membuatnya tidak tega. Napas gadis itu sampai tersengal. Tubuh mungilnya bergetar. Entah sekecewa apa dia.

"Aku lapar. Ayo cari makanan," kata Taehyung lembut sembari mengusuk air mata yang membuat pipi Jennie basah kuyup.

Itu pukul tiga dini hari. Entah makanan jenis apa yang bisa mereka temukan di jam-jam ini. Lagi pula saat ini Seoul sangat dingin. Keluar rumah terdengar seperti tengah mengumpankan diri pada penyakit. Taehyung khawatir melihat hidung dan pipi Jennie yang memerah. Kendati lucu, itu mungkin pertanda buruk. Jennie tidak boleh sakit. Keadaan ekonomi mereka saat ini tidak memperbolehkan mereka untuk sakit, jadi mari makan yang banyak agar tubuh tetap sehat.

Maka mereka harus puas dengan hanya menemukan toserba yang buka dua puluh empat jam. Tak ada restoran yang buka dini hari. Pun, sebenarnya uang yang ada di saku Taehyung tidak terlalu banyak. Setelah menyeduh ramen dengan air panas, mereka duduk bersama menikmati jalanan yang lengang. Sambil menunggu mi matang, Jennie melahap Kimbap yang tidak lagi terasa segar. Taehyung mengizinkannya mengambil sosis juga. Sementara pemuda itu hanya menatap kosong ke jalanan menunggu panas kopinya sedikit menguap.

REDUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang