twenty three

37 22 0
                                        

Selamat membaca!!

°

Seorang gadis masih terlelap di kasur king-size nya dengan posisi terlentang. Suhu tubuh gadis itu lebih meninggi dari biasanya. Tubuhnya yang terbungkus selimut abu-abu merasakan buih keringat tak berhenti menetes.

Marga menggeliat, ketika mendengar suara gaduh dari luar ruangan. Terdengar suara adu mulut antara suami-istri di ruang tengah. Kelopak mata gadis itu terbuka perlahan dan netranya langsung tertuju pada langit ruangan.

Pikirannya berkelana terakhir kali dia sadar sebelum berada di kamarnya saat ini. Dahi gadis itu mengernyit, mengingat terakhir kali dia ada di club. Lalu, siapa yang membawanya kemari?

Kepalanya masih terasa sedikit pening. Beberapa anggota tubuh gadis itu juga banyak luka yang sebagian belum terlalu mengering. Sebagainnya lagi luka terlihat sudah diobati obat merah. Marga menoleh ke arah jam dinding. Jarum pendek menunjuk ke angka delapan. Menandakan hari sudah pagi. Sepertinya hari Minggu ini, gadis itu akan menghabiskan waktu di dalam kamar.

Gadis itu menyibakkan selimut hendak beranjak. Belum sepenuhnya duduk, pintu kamar terbuka. Masuklah seorang wanita cantik yang mengenakan daster ala emak-able. Dewi masuk membawa nampan berisi semangkok bubur serta segelas air putih. Di sisinya terdapat bungkus obat penurun panas.

Setelah menaruh nampan di nakas, Dewi mendekat ke ranjang, "Apanya yang sakit, Ga?" tanyanya dengan lembut.

Marga hanya diam, menatap wajah sang bunda yang terus menampilkan senyum.
Alunan suara yang mengalun indah menyentuh di hati. Gadis itu tak bisa menahan kedutan di hatinya ketika bisa dekat dengan sang bunda.

Gadis itu kembali merebahkan tubuhnya tanpa membalas pertanyaan Dewi. Dengan canggung, Dewi mulai memberanikan diri memijat pelipis sang anak pelan. Jujur saja, wanita itu sedikit takut jika tindakannya ditolak mentah oleh Marga. Meskipun sakit hati, Dewi tidak pernah menunjukkan rasa kecewanya dan tetap tersenyum.

"Udah mendingan belum?" tanya Dewi.

Marga tak menjawab, melainkan fokus menikmati sentuhan lembut dari tangan sang bunda. Baru kali ini setelah sekian lama dia bisa dekat dengan Dewi lagi. Tanpa ada penolakan darinya seperti biasa.

Dewi mengecek suhu tubuh gadis itu menggunakan punggung tangan. Ketika kulitnya sudah bersentuhan dengan dahi Marga, rasa panas langsung menjalar. Dewi tersengat sedikit kaget, suhu tubuh bukannya menurun. Tetapi lebih tinggi dari suhu yang tadi.

"Suhu tubuhmu semakin naik," celetuk Dewi beranjak dari duduknya. Wanita itu melangkah keluar kamar, tanpa mengucapkan apapun lagi.

Gadis yang terbaring menatap nanar punggung Dewi yang menjauh. Sebelumnya, Marga tak pernah selemah ini di depan Dewi. Dia yang selalu mencoba kuat. Tak pernah ada keluhan dia utarakan. Sakit pun, Marga menahannya.

Beberapa menit kemudian, Dewi masuk membawa sebaskom air panas serta handuk kecil berwarna biru. Mendekat ke ranjang, lalu mulai memeras handuk itu. Dewi menempelkan handuk kecil itu dengan telaten pada dahi Marga. Seolah-olah Marga seorang anak kecil yang sedang dirawat ibunya ketika sakit.

"Bunda gak kerja?" tanya Marga, memecah keheingan. Setahunya, Dewi memang bekerja di toko fashion. Wanita yang menyandang sebagai ibu itu memilih bekerja paruh waktu, meskipun pekerjaan suami memang pasti sudah dapat mencukupi.

Gerakan Dewi terhenti, kepalanya menggeleng pelan, "Makan dulu ya? Bunda suapi," ujarnya mengalihkan pembicaraan. Dia mengambil semangkok bubur di nakas. Ketika hendak menyuapi, Marga menolak.

MARGAREZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang